Aneka Ragam Makalah

Book Report Filsafat Pendidikan Islam



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
BOOK REPORT
MENCETAK PEMBELAJAR MENJADI INSAN PARIPURNA
(FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM)


A. Deskripsi Buku

Nama pengarang : Prof. Dr.H. Maragustam, M.A
Judul buku : Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna
Tempat terbit : Yogyakarta
Penerbit : Nuha Litera
Tahun terbut : 2010
Jumlah halaman : 227 halaman
Tebal buku : 15 x 23 cm
ISBN : 978-979-1446-99-8

Buku ini terdiri dari delapan bab dan dilengkapi dengan prolog dan epilog. Adapun rincian dari masing-masing Bab yaitu sebagai berikut:


Bab I PENDAHULUAN

Bab II PEMIKIRAN (FILSAFAT) PENDIDIKAN ISLAM

1. Arti Filsafat
2. Hakikat Pendidikan Islam ( Pengertian kata “Tarbiyah, Taklim, dan Ta’dib)
3. Pengertian Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Islam
4. Pengolahan Sumber-sumber (Filsafat Pendidikan Islam)
5. Rangkuman

Bab III NILAI-NILAI DASAR (STRUKTUR IDE) PENDIDIKAN ISLAM

1. Hakikat Alam
2. Hakikat Kehidupan
3. Hakikat Manusia
4. Hakikat Hereditas dan Lingkungan
5. Rangkuman

Bab IV ALIRAN PEMIKIRAN (FILSAFAT) PENDIDIKAN ISLAM

1. Kesadaran Manusia dan Paradigma Pendidikan
2. Aliran Utama Pemikiran (Filsafat) Pendidikan Islam
3. Empat Aliran Pemikiran (Filsafat) Pendidikan Barat
4. Rangkuman

Bab V PENDIDIKAN KELUARGA DAN KOMPONEN PENDIDIKAN ISLAM

1. Rasional
2. Pendidikan Keluarga
3. Komponen Pendidikan Islam
4. Rangkuman

Bab VI PENDIDIKAN SPIRITUALIS KALBU DAN IMPLIKASINYA DALAM TANGGUNGJAWAB

1. Rasional
2. Hakikat Kalbu
3. Karakteristik Kalbu
4. Metode Pendidikan Kalbu
5. Kalbu dan Pertanggungjawaban
6. Rangkuman

Bab VII PEMIKIRAN AZ-ZARNUJI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

1. Rasional
2. Sketsa Pengarang Kitab Ta’lim al-Mutaállim
3. Tujuan Pendidikan /Tujuan Memperoleh Ilmu
4. Rangkuman

Bab VIII MENJADI MANUSIA PEMBELAJAR (PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK) YANG BIJAKSANA

1. Rasional
2. Pengertian dan Karakteristik Hikmah
3. Pendidikan Islam Mencetak Manusia Bijaksana (Insan hakim)
4. Rangkuman


B. Interpretasi

Pada Bab I berisi tentang pendahuluan dari pembahasan buku ini, yang mengulas konsep awal manusia dalam pendidikan, yang menempati posisi sentral, karena di samping dipandang sebagai subjek, manusia juga dipandang sebagai objek pendidikan itu sendiri. Sebagai subjek manusia menentukan corak dan arah pendidikan. Pendidikan diadakan adalah untuk manusia, maka wajar kalau manusialah yang merekayasa pendidikan itu untuk kemashlahatan dirinya dan peradaban. Manusia punya potensi-potensi dan daya untuk dikembangkan, dipelihara dan diberdayakan, yang seterusnya menjadi makhluk yang berkepribadian dan berwatak. Sedangkan manusia sebagai objek pendidikan, manusia sebagai objek pendidikan, manusia menjadi fokus perhatian segala teori dan aktivitas pendidikan. Karena manusia itu dalam proses kehidupannya mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental, maka perlu ada bimbingan dan arahan agar sesuai dengan tujuan pendidikan.

Pendidikan Islam pada hakikatnya bertujuan menyiapkan manusia menjadi khalifah (pemimpin) di bumi dan sebagai hamba yang terus menerus mengabdi kepada-Nya dalam keadaan apapun dan dimanapun. Pendidikan Islam sekaligus menyiapkan sumber dayanya untuk mampu menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, kenikmatan dan kesusahannya. Pendidikan Islam menurut Nahlawi ialah pengembangan pikiran manusia dan tingkah laku serta emosinya berdasarkan agama Islam, dengan tujuan merealisasikan tujuan Islam di dalam kehidupan individu dan masyarakat, yakni dalam seluruh lapangan kehidupan. Pendidikan Islam dapat dilakukan seseorang atau kelompok di lembaga pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada pembelajar yang mendasarkan segenap program kegiatan pendidikannya atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Dalam UU No 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses peserta didikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pada Bab II ini membahas tentang pemikiran filsafat pendidikan. Pendidikan Islam dalam arti luas adalah kehidupan, dan kehidupan adalah pendidikan Islam. Pernyataan ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Jalaluddin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam yang mengatakan bahwa ”life is an education, or education is a life . Karena setiap apa yang kita alami sengaja atau tidak sengaja, Islam menganjurkan untuk mengambil hikmah (pembelajaran/lesson learn) dari peristiwa atau pengalaman tersebut. Namun dalam arti sempit pendidikan Islam adalah usaha sadar dan terencana yang sesuai dengan nilai-nilai Islam untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam proses pendidikan mencakup menumbuhkan, memelihara, memimpin dan mengembangkan serta mempertanggungjawabkan secara sempurna semua dimensi manusia baik materi, seperti fisiknya, maupun immateri seperti akal, hati, kehendak, dan kemauan, yang dilakukan secara bertahap, berkelanjutan dan fleksibel. Dalam proses pendidikan, pembelajar dipandang sebagai subjek sekaligus objek dalam aktivitas pendidikan. Demikian juga dalam proses pendidikan mencakup alih (transfer) ilmu, budaya, tradisi, dan nilai serta pembentukan kepribadian (transformatif).

Filsafat pendidikan ialah pemikiran-pemikiran filosofis yang sistematis dan radikal, yang diambil dari sistem filsafat (aliran-aliran filsafat), atau jawaban filosofis terhadap masalah pendidikan, yang dapat dijadikan bagi proses pendidikan. Sedangkan filsafat pendidikan Islam ialah pemikiran-pemikiran filosofis yang sistematis dan radikal, yang diambil dari sistem filsafat (aliran-aliran filsafat), atau jawaban filosofis terhadap masalah pendidikan dan mencerminkan nilai-nilai Islam, yang dapat dijadikan pedoman bagi proses pendidikan Islam. Jadi, dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan Islam, dalam buku Filsafat Pendidikan Islam yang ditulis oleh H. M. Arifin, menurut beliau pemikiran para ahli filsafat pendidikan pada umumnya mengatakan bahwa perlu dijadikan bahan acuan yang memberikan ruang lingkup pemikiran filsafat pendidikan Islam. Kita berpendirian bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada relevansinya dengan filsafat pendidikan Islam harus kita ambil untuk bahan memperdalam dan memperluas studi. Dari manapun datangnya hikmah itu, kita ambil dan kita manfaatkan. Demikian perintah Nabi Muhammad saw.

Fungsi filsafat pendidikan Islam terhadap pendidikan ialah sebagai teori umum bagi pendidikan, fungsi kritik, fungsi analisis, fungsi normatif, dan fungsi evaluasi-sintesis terhadap pendidikan. Sedangkan sumber-sumber pengambilan filsafat pendidikan Islam ialah Alquran, Sunnah dan hasil ijtihad yang benar dan terpercaya.

Pada Bab III mengenai nilai-nilai dasar (struktur ide) pendidikan Islam. Penjelasannya disini ialah ide dasar yang menjadi titik tolak dalam membangun isi dan substansi persoalan-persoalan pendidikan Islam. Struktur ide dasar itu yang paling penting ialah bagaimana pandangan Islam mengenai hakikat alam, kehidupan dan manusia. Tujuan alam ini diciptakan agar manusia dapat menggali nilai-nilai kebenaran dan kemanfaatan yang terkandung di dalamnya yang dapat mengarahkan manusia kepada pengakuan eksistensial dirinya sebagai hamba Allah, terutama untuk ma’rifatullah yakni tauhid. Alam ini sebagai asas berpikir ilmiah dan dasar pijakan dalam kerangka ilmu, serta sebagai pembelajaran apabila alam ini diyakini sebagai hal yang exact, tetap (tidak pernah berubah) atau terus menerus, ada keterulangan, sifatnya objektif, dan berjalan atas dasar hukum kausal, dan teologis.

Sebagaimana halnya yang dinyatakan oleh as-Syaibani yang dikutip oleh al-Rasyidin dalam bukunya Falsafah Pendidikan Islami menurutnya bahwa esensi alam semesta ini adalah segala sesuatu selain Allah Swt. Dalam perspektif Islam, manusia harus merealisasikan tujuan kemanusiaannya di alam semesta, baik sebagai syahid Allah , abdillah maupun khalifah Allah. Dalam konteks ini, Allah Swt menjadikan alam semesta sebagai wahana bagi manusia untuk bersyahadah akan keberadaan dan ke-Mahakuasaan Allah . Wujud nyata yang menandai syahadah itu adalah penunaian fungsi sebagai makhluk ibadah dan pelaksanaan tugas-tugas sebagi khalifah. Dalam hal ini, alam semesta merupakan institusi pendidikan, yakni tempat dimana manusia dididik, dibina, dilatih, dan dibimbing agar berkemampuan merealisasikan atau mewujudkan fungsi dan tugasnya sebagai abd Allah dan khalifah . Melalui proses pendidikan di alam semesta inilah kelak Allah Swt akan menilai siapa diantara hamba-Nya yang mampu meraih ‘markah’atau prestasi terbaik.

Manusia terdiri dari unsur materi yakni fisik, basyar dan immateri (insan, akal, kalbu, ruh, nafs, firah). Dengan keadaannya yang demikian, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, makhluk educandum dan educandus, diberi amanah taklif (pembebanan), berfungsi ‘ubudiyah dan khalifah (co creator), makhluk mukhayyar (kebebasan memilih), makhluk yang bertanggung jawab dan diberi berbagai daya yang penuh keajaiban (‘ajaib) dan misteri (garaib) serta diberi peluang untuk mencapai kemajuan. Sifat dasar bawaan manusia ialah tauhid dan proses perkembangan bersifat interaktif/responsif. Lingkungan yang buruk merupakan agen eksternal mendorong fitrah yang negatif dan melengkapinya. Lingkungan yang baik, merupakan agen-agen eksternal yang melengkapi fitrah tauhid yang positif.

Hubungan antara individu dan sosial saling pengaruh. Dalam kehidupan manusia dipengaruhi oleh hereditas, lingkungan dan kehendak bebas atas kuasa Tuhan. Reformasi dan transformasi sosial merupakan kewajiban komunal dalam wujua amar makruf dan nahi mungkar. Melalui konsep amar makruf dan nahi mungkar akan menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral sebagai konsekuensi dari fungsi manusia sebagai ubudiyah dan khalifah (co creator) dan manusia sebagai bayang-bayang Tuhan. Reformasi dan transformasi sosial yang dilakukan harus dilandasi oleh akidah dan ilmu bukan dengan kebodohan dan taklid. Dengan ilmu itu masyarakat dapat dibentuk dengan rasional, bukan dengan apriori tetapi apriori.

Struktur ide (nilai-nilai sentral/dasar) pendidikan Islam yaitu (1) hubungan manusia dengan Allah dikatakan bernilai benar dan baik serta indah apabila mengandung nilai ‘ubudiyah dan istikhlaf (2) hubungan manusia dengan masyarakat dikatakan bernilai benar dan baik serta indah apabila mengandung nilai ta’awun, ‘adalah, dan ihsan; (3) hubungan manusia dengan alam dikatakan bernilai benar dan baik serta indah apabila mengandung nilai takshir, (4) hubungan manusia dengan kehidupan dunia dipandang bernilai benar dan baik serta indah jika hubungan itu mengandung nilai ibtila’ (ujian dan laboratorium); dan (5) hubungan manusia dengan akhirat adalah bernilai benar dan baik jika mengantarkannya untuk dapat menyadari dan menghayati nilai-nilai tanggung jawab dan balasan.

Bab IV membahas mengenai aliran pemikiran (filsafat) pendidikan Islam. Tiga kesadaran dalam kehidupan manusia ialah kesadaran magis (magical consciusness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran (critical consciousness). Dari tiga kesadaran ini memunculkan tiga paradigma sistem pendidikan yaitu dari kesadaran naif lahir pendidikan konservatif, dari kesadaran naif lahir pendidikan liberal dan dari kesadaran kritis lahir pendidikan kritis.

Sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dan keharusan alami, bahkan takdir Tuhan, tidak bisa/perlu dirubah, bahkan perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkan dengan pendidikan konservatif. Pendidikan konservatif ini lazim diberlakukan pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Paradigma liberal, memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaiian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran, kemiskinan, konflik sosial dan lain-lain, maka itu adalah kesalahan manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Paradigma pendidikan kritis adalah melakukan refleksi kritis, terhadap “the dominant ideology” kearah transformasi sosial.

Tugas pendidikan dalam pandangan paradigma ini adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta meletakkan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netal, bersikap netal, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat. Visi pendidikan ialah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru dan lebih adil. Tugas pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak ada. Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku pada masyarakat itu. Sistem itu dapat berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial (yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budah (yang partiaki dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat pengukuh dan pro status quo). Dan untuk itu pendidikan kritis berupaya melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu mendekonstruksi dan merekontruksi sistem yang ada. 

Berdasar pada ruang lingkup pembagian ilmu dan tujuan memperoleh ilmu, pemikiran pendidikan Islam kepada tiga yakni (1) aliran al-Muhafiz (religius konservatif). (2) aliran al-Diniy al-Aqlaniy (religius rasional) dan (3) aliran alzarai’iy (pragmatis instrumental). Aliran religius konservatif, melihat konsep pendidikan Islam harus dibangun dari nilai-nilai agama terutama yang berkaitan dengan tujuan menuntut ilmu dan apa saja ilmu-ilmu yang perlu dipelajari. Menurut aliran ini tujuan-tujuan keagamaan menjadi tujuan menuntut ilmu. Aliran religius rasional sekalipun mempunyai kecenderungan kuat terhadap nuansa keagamaan tetapi tidak sekuat aliran konservatif.

Artinya kalau aliran konservatif terkandung kesan bahwa tema ilmu dalam Alquran dan hadis menyempit, sedangkan aliran religius rasional mempunyai cakupan yang luas. Disamping itu alirah religius rasional ini memadukan antara sudut pandang keagamaan dengan sudut pandang kefilsafatan dalam menjabarkan konsep ilmu, sehingga kelompok ini berpendapat bahwa pengetahuan itu semuanya muktasabah (hasil perolehan dari aktivitas belajar) dan yang menjadi modal utamanya adalah indera. Sedangkan aliran pragmatis instrumental lebih banyak bersifat pramatis dan lebih berorientasi pada aplikatif praktis dalam pendidikan. Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansialnya atau sekuensinya semata. Sedangkan pemikiran pendidikan Barat, membagi aliran pendidikan kepada progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksionisme.

Selanjutnya pada Bab V membahas tentang pendidikan keluarga dan komponen pendidikan Islam. Berbicara mengenai tujuan, metode, pendidik dan peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh yang disebut sistem pendidikan Islam. Diantara sub sistem tersebut, yang paling utama ialah pendidiknya. Untuk para ahli pendidikan Islam sangat ketat mensyaratkan kriteria seorang pendidik. Hal itu tidak lain karena pendidik sangat berperan dalam alih ilmu, tradisi, budaya, nilai dan lain-lain kepada peserta didik sekaligus membentuk kepribadian peserta didik.

Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah.

Dalam buku ini, diantara pendidik tersebut selain Allah dan Rasulnya, orang tualah sebagai pendidik utama yang paling bertanggungjawab dalam mendidik anak-anaknya. Alquran sangat jelas menekankan hal tersebut. Untuk itu keluarga harus menyiapkan diri sedemikian rupa agar mampu mendidik putra putrinya dalam menghadapi gelombang kehidupan yang menantang dan tidak menentu. Seperti mendatangkan guru agama privat ke rumah, menyekolahkan anaknya ke lembaga- lembaga sekolah yang religius, mengintensifkan hubungan antara orang tua dan anak, mengikutkan anak-anaknya dalam majelis-majelis taklim dan dzikrullah, memonitoring dan mengawasi pergaulan anak, menjadikan diri orang tua menjadi teladan (role model) bagi putra-putrinya. Dapat dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki posisi yang tinggi dan terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah, sebab Islam menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi peserta didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia, yaitu Nabi Muhammad saw.

Bab VI mengenai pendidikan spiritualis kalbu dan implikasinya dalam tanggungjawab. Kalbu itu tidak jelas hakikatnya, apalagi rincian dan gejala-gejalanya. Kalbu dalam arti maknawi (halus) merupakan tempat bersemayam cinta kasih, iman, dan takwa. Dia tempat penyimpanan rahasia-rahasia, berlabuh perasaan-perasaan, keinginan-keginan, dorongan-dorongan berlabuh perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, dorongan-dorongan dan niat, mengetahui, dan alat mengetahui dan mengenal. Karakteristik kalbu itu antara lain, pada dasarnya bersifat bolak balik, kecuali yang dibimbing Tuhan. Kalbu bagaikan raja dan titik sentral bagi semua aktivis manusia. Lammah kalbu ada malakiyah, syaithniyah, lawwamah dan lammah ammarah bissu’. Dari perilaku kalbu itu ada yang sehat, hidup, tentram, tapi ada juga yang mati, berpenyakit, keras, atau bercampur nifaq dan iman. Kalbu yang dikunci mati atau berpenyakit atau keras sebenarnya berawal dari prakarsa manusia itu sendiri. Sebagai metode pembinaan kalbu itu antara lain dapat dilakukan dengan terus menerus berdzikir, istighfar (mohon ampunan) dan bertobat, memperbanyak doa, dan selalu menangkap segala fenomena dengan husnudzan (berpikir positif).

Dalam kenyataannya, banyak manusia lari dari tanggungjawab. Pada hal setiap manusia harus mempertanggungjawabkan setiap apa yang ia lakukan dan katakan sekecil apaun baik itu sebagai konsekuensi sebagai hamba atau konsekuensi sebagai khalifah. Dalam hadis dikatakan: ketahuilah, setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Setiap kepala Negara adalah pemimpin dan masing-masing harus bertanggungjawab atas kepemimpinannya. (HR. Bukhari Muslim). Dalam Alquran disebutkan bahwa “setiap aspek dari diri manusia diminta pertanggungjawaban’. (QS. Al-Isra’(17): 36).

Menurut analisa penulis banyak manusia yang lari dari tanggungjawabnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kalbu adalah pusat kesadaran moral dan spiritual. Dia bagaikan raja yang memerintah seluruh aliran darah manusia. Terdapat hubungan timbale balik antara spiritualitas kalbu dengan perilaku. Jika kalbu seseorang kotor, sekalipun ia mengetahui mana yang salah dan benar, diberi kebebasan berbuat (tidak ada paksaan), dan berkemampuan untuk berbuat, tetap saja berbuat kejahatan. Dengan demikian, pertanggungjawaban menaati aturan sangat tergantung kepada kualitas spiritualitas kalbu seseorang. Dengan kata lain, terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas spiritualis kalbu dengan pertanggungjawaban.

Bab VII tentang Pemikiran al-Zarnuji Tentang Pendidikan Islam. Dari berbagai bahasan yang dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa al-Zarnuji dalam menentukan tujuan belajar/pendidikan berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan praktis, sekalipun ia lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga tujuan-tujuan praktis, seperti tujuan ideal dan tujuan praktis, sekalipun ia lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga tujuan-tujuan praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan haruslah diberdayakan kepada tujuan mencari ridha Allah dan kehidupan di akhirat. Sekalipun tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi paling tidak benang merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada tujuan yang bersifat individual, sosial dan professional.

Menurut al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:

وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم رضا الله تعالى والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين و إبقاء الإسلام فأن بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل. والنشد الشيخ الإمام الأجل برهان الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:

فساد كبير عالم متهتك * وأكبر منه جاهل متنسك

هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata:

وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن ولا ينوى به اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد ابن الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و تبرأت عن ولآئهم.

Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya.

Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini:

ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما فيما عند الناس. انشد الشيخ الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :

من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد

فيالخسران طالبه * لنيل فضل من العباد.

Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.

Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini:

اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر بالمعروف والنهى عن المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر. وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في ذلك فإنه يتعلم العلم بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية شعر:

هي الدنيا اقل من القليل * وعاشقها اذلّ من الذليل

تصم بسحرها قوما و تعمي * فهم متحيرون بلا دليل.

Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.

Mengenai pendapatnya tentang konsep sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar, nampaknya lebih cenderung kepada good interactif atau positif aktif. Artinya pada dasarnya cetakan manusia itu baik aktif dan merespon terhadap lingkungan sosial budaya bersifat proses kerjasama atau dialogis. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan sosial, seperti memilih guru, teman dan tempat agar ilmu yang diperoleh pembelajar dapat bermanfaat, berkah sebagai hasil dari pengaruh lingkungan tersebut.

Pada Bab VIII dijelaskan bahwa dari berbagai pembahasan maka dapat dirangkum bahwa pada garis besarnya kata hikmah dalam Alquran kebanyakan diiringi dengan kata kitab. Kalau hikmah diiringi dengan kata kitab mayoritas ulama mengartikannya dengan “sunnah”. Sedangkan jika kata hikmah tidak disertai dengan kitab, dimaknai dengan Alquran, ilmu, kemampuan memahami, kebenaran ucapan dan perbuatan, kesesuaian ilmu dan amal. Secara ringkas hikmah adalah ilmu, kecerdasan akal, memahami hukum kausalitas, tentang rahasia-rahasisnya, tentang tujuan dari sesuatu, tentang kemaslahatan dibalik yang tersurat/kejadian dan tentang etika, kesesuaian teori/kata dan praktik, sedikit kata padat makna, jelas, benar dan mencakup, keadilan dan kebenaran, spiritualitas, kenabian dan sunnah, lemah lembut, dan tindakan yang cepat. Mendapatkan hikmah merupakan otoritas Allah, disamping usaha manusia itu sendiri sebagai prasyarat .

Sedangkan menurut penulis dalam Tafsir al-Misbah ditulis oleh Quraisy Shihabah kata hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan /diperhatikan akan mendatangkan kemashlahatan dan kemudahan yang yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Makna ini ditarik dari kata hakamah, yang berarti kendali, karena kendali menghalangi hewan/kendaraan mengarah kearah yang tidak diinginkan atau menjadi liar.

Melilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan katalain dia yang hakim. Thahir Ibn ‘Asyur menggarisbawahi bahwa hikmah adalah nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara bersinambung. Thabathaba’I mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan secara singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal. Dengan demikian, menurut Thabathaba’I hikmah adalah argument yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan.

Pakar tafsir al-Biqa’I menggarisbawahi bahwa al-hakim, yakni yangmemiliki hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya sehingga dia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu atau kira-kira, dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.

Insan hakim itu mencerminkan pribadi yang berilmu mendalam, manfaat, benar, tetapi setelah melalui proses memahami Alquran dan Sunnah dan sunnatullah, mengati hekakat kebenaran dan sunnatullah, tujuan-tujuannya, rahasia-rahasianya dan manfaatnya cerdas akalnya, teliti dan ahli, mendapatkan anugerah, filsafat, ilham dan petunjuk, terdapat kesesuaian antara kata dan perbuatan, menempatkan sesuatu sesuai dengan haknya secara seimbang dan adil, lemah lembut, menghiasi diri dengan akhlak terpuji dan menghindar diri dari akhlak tercela. Dengan kata lain untuk mendapatkan hikmah itu adalah seseorang berakhlak dengan akhlak Tuhan dan meneladani pribadi luhur Nabi Muhammad SAW. Benar apa yang disabdakan Nabi SAW bahwa hikmah dapat menambah (derajat) seorang terhormat dan mengangkat (derajat) seorang hamba sahaya sehingga ia dapat menduduki kedudukan raja (penguasa)”. (HR. Abu Na’im dan Ibnu Abdi).


C. Evaluasi

Setelah menelaah secara seksama isi buku mengenai Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna ( Falsafah Pendidikan Islam) ini, penulis merasa cukup baik. Karena buku ini mengulas secara khusus mengenai bagaimana mencetak pembelajar menjadi insane paripurna yang memaparkan bagaimana problem pendidikan di Indonesia dalam lingkaran globalisasi informasi dan teknologi yang membabat habis spiritualis kalbu pembelajar. pendidikan kemanusiaan, khususnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan karakter dan pendidikan akhlak di Indonesia yang merupakan tanggung jawab setiap pendidik. Oleh karena itu, buku ini sangat penting dibaca dan dipahami oleh para pendidik, siswa, mahasiswa bahkan juga bagi para orang tua dalam guna dalam memahami bagaimana pentingnya meningkatkan spiritualitas dan mendidikkn hati (kalbu) sehingga menjadi manusia yang bertanggungjawab terhadap Tuhan, sesama manusia dan dirinya sendiri. Yang akhirnya mampu mencetak manusia-manusia yang paripurna.

Namun, krikik penulis terhadap buku ini yaitu bahasa-bahasa yang digunakan banyak yang tidak baku sehingga sulit dipahami dan dimengerti, dan pembahasannya kurang menukik dalam mengkaji sisi filosofis konsep yang dibahas. Akhir kata penulis mengatakan semoga buku ini bermanfaat bagi kita.


D. Rekomendasi

Melihat begitu kompleksnya pembahasan yang ada dalam buku ini. Maka, penulis menyarankan bagi para teori dan praktisi pendidikan, hendaknya lebih dulu memahami konsep dan hakekat manusia yang merupakan makhluk Allah yang paling mulia yang diciptakannya dalam bentuk yang sebaik-baiknya (paripurna). Para pendidik dan para praktisi pendidik lainnya hendaknya mampu memahami daya-daya yang dimikili oleh manusia itu sendiri.

Dan salah satu fokus perhatian dari daya-daya manusia itu ialah kalbu (hati). Semakin bagus spiritualitas kalbu seseorang, maka semakin bagus pula tanggungjawab keagamaannya, kemanusiaannya, dan kealamannya, yang akhirnya menjadi insan paripurna yang penuh dinamika. Karena dengan pengetahuan tersebut, pembentukan karakter pembelajaran akan sesuai dengan maksud pencipta fitrah manusia yaitu menjadi khalifatullah dan abdillah. Dari sini dapat difahami betapa tegasnya para ahli pendidikan muslim mensyaratkan kompetisi personal bagi pendidik muslim. Hal ini tiada lain agar pendidik dapat mencetak pembelajar menjadi manusia bijaksana dan spiritualis kalbu yang mumpuni. Karenanya dia menjadi manusia yang bertanggungjawab, paling tidak pendidik tidak merusak fitrah suci titipan Tuhan tersebut dalam proses pendidikan. 

Demikian pentingnya pendidik dan peserta didik, maka kedua komponen ini harus menjalankan tugas dan memahami perannya masing-masing sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan di Indonesia, pendidik, baik Guru maupun Dosen memang telah mendapat perhatian dari pemerintah, terbukti dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, pendidik harus menyadari bahwa pendidik tidak hanya sekedar profesi formal yang bertanggung jawab dalam menyampaikan materi sebaik-baiknya, dengan perencanaan pembelajaran yang matang dan menerapan metode yang baik. Hal yang lebih penting adalah pendidik seharusnya sebagai figur central (uswatun hasanah) bagi peserta didiknya.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved