Aneka Ragam Makalah

Makalah Konsep Wahdat al-Wujud Ibnu Arabi



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Makalah Konsep Wahdat al-Wujud Ibn Arabi 
Oleh: Ade Afriansyah, S.FilI



PENDAHULUAN

Doktrin Ibn ‘Arabi tentang Wahdat al-Wujud telah mewarnai keragaman pemikiran tentang sufistis. Dan juga merupakan tokoh tasawuf yang fenomenal dalam peradaban Islam. Pemikirannya juga spiritualis yang berkelahiran Spanyol kali ini menghentak-hentak kesadaran dan kemapanan. Terlebih tema-tema yang diusung menyangkut hakikat dan makna hidup yang tak pernah berhenti. Karena terpinggirkannya pemikiran dan ajaran Ibn ‘Arabi adalah terbatasnya para pengikutnya dan literatur yang tersebar dan karakteristik dengan bahasa agama yang berbenturan dengan bahasa budaya perpaduan dan tradisi tasawuf dengan mengekspresikan pengalaman, penghayatan komitmen dan konsep keragaman dimensi metafisis transendental.

Pandangan Barat dan sarjanawan Muslim mengatakan Ibn Arabi mewakili panteisme atau monisme Islam, dan karena teori-teori monistik, telah menghancurkan gagasan Islam tentang Tuhan sebagai satu kekuatan hidup dan aktif. Tetapi tuduhan wahdat al-wujud yang diberi label panteisme atau monism dikecam dan ditolak oleh beberapa sarjana Muslim kontemporer. Seyyed Hossen Nasr memandang istilah-istilah panteisme tidak dapat dipakai untuk mendeskripsikan doktrin wahdat al-wujud. Tuhan menurut doktrin ini adalah transenden terhadap alam, sekalipun dalam tingkatannya sebagai yang real tidak dapat sepenuhnya lain dari Tuhan. Segala sesuatu yang ada dalam alam ini adalah penampakannya.[1]


PEMBAHASAN

A. Pengertian Wahdat al-Wujud

Sebelum membicarakan doktrin yang umumnya disebut : kesatuan wujud (wahdat al-wujud) atau panteisme, perlu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata “wujud” (Being, al-wujud). Wujud mempunyai pengertian objektif dan juga objektif. Dalam pengertian objektif kata wujud terletak aspek epistemologis, kata wujud adalah masdar dari wujida, yang berarti “ditemukan”, dalam pengertian ini wujud dalam bahasa Inggris diartikan “being” atau “existensi”. Sedangkan pengertian subjektif kata wujud terletak aspek ontologis, kata wujud adalah masdar dari wajada, yang berarti “menemukan” dan dalam bahasa Inggris berarti “finding”.[2]

Bagi Ibn Arabi keduanya ini menyatu dalam bentuk yang harmonis, ketika berbicara wahdat al-wujud dalam hubungannya dengan Tuhan, pada suatu pihak wujud merupakan wujud Tuhan sebagai realitas Absolut, dan pihak lain wujud adalah “menemukan” Tuhan yang dialami oleh Tuhan sendiri dan oleh pencari Tuhan.[3] Wujud yang merupakan untuk menyebutkan wujud Tuhan, satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya.

Kata wujud juga digunakan Ibn Arabi untuk menunjukkan segala sesuatu selain Tuhan, dan digunakan dalam pengertian metaforis (majaz) untuk tetap mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam, pada hakekatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Hubungan Tuhan dengan alam sering digambarkan dengan hubungan cahaya dengan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka ‘adam (ketiadaan) adalah milik alam. Karena itu Ibn Arabi mengatakan bahwa wujud adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan.

Dan point utama yang berkaitan dengan wahdat al-wujud ialah konsep tajalli (penampakan diri ) al-haq. Tajalli biasa diterjemhkan penulis-penulis modern kedalam bahasa Ingris dengan self-disclosure (penyingkapan diri, pembukaan diri), self-revelation (pembukaan diri, penyatuan diri), self-manifestation (penampakan diri) dan theophany (penampakan Tuhan). Sedangkan sinonim yang digunakan Ibn Arabi untuk tajalli adalah fayd (emanasi, pemancaran, pelimpahan), zuhur (pemunculan, penampakan, pelahiran), tanazzul (penurunan, turunya), dan fath (pembukaan).[4]

Faham wahdat al-wujud adalah lanjutan dari faham hulul. Dan faham wahdat al-wujud, nafsu yang ada dalam hulul tersebut, dirubah oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk– dan lahut menjadi haq –Tuhan–. Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq.[5]


B. Konsep Dasar Wahdat al-Wujud Ibn Arabi

Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu :

a. Bahwa semua yang ada adalah zat tunggal
b. Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya
c. Bahwa tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana.

Oleh sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan / terbagikan (indivisible) dan seragam (homogen).[6]

Zat, oleh sebab itu, menentukan diri sendiri, dan dari hasil dari penentuan diri (ta’ayun) maka pembedaan dan perbedaan akan muncul dalam zat, dan penggandaan akan berkembang dari kesatuan. Tetapi dalam proses ini, zat tidaklah membagi atau juga tidak menjarangkan diri sendiri. Samalah juga dengan zat tunggal yang mengada dalam keseluruhannya, di sini dengan satu bentuk dan di lain tempat dengan bentuk yang lain, tanpa membagi atau menjarangkan diri secara memadai. Sebagai seorang aktor, ia tampak dalam berbagai karakter, dengan nama-nama yang berbeda karakter dengan nama-nama yang berbeda, dan melakukan berbagai fungsi. Ibn al-Arabi menyamakan penampakan dari sesuatu berbagai air, yang kini berwujud air, atau sebagai es, atau pula sebagai uap.

Dan zat juga yang menentukan diri sendiri dalam berbagai bentuk adalah zat Tuhan. Dan tentu tidak bisa lain kecuali Tuhan, baginya tidak akan ada dua zat yang mengada bersama-Nya. Kemudian juga, bahwa zat Tuhan adalah zat dunia, perbedaan di antara keduanya adalah di atur dengan nalar yang sama. Karena Tuhan dan dunia adalah satu zat, maka hubungan antara Tuhan dan dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau hubungan antara pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini ahli ilmu kalam, atau hubungan antara yang tunggal dengan yang emanasi (pancaran-Nya).[7]

Dalam pandangan Ibn Arabi alam adalah penampakan diri (tajalli) al-Haqq dan demikian segala sesuatu dan segala peristiwa yang ada di alam ini adalah entifikasi (ta’ayyun) al-Haqq. Tuhan maupun alam, keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai satu kesatuan kontradiksi-kontradiksi ontologis dalam realitas yang bukan hanya bersifat horizontal tapi juga vertical[8].

Dengan perumpamaan timbal balik dari sebuah cermin, untuk menjelaskan hubungan ontologis al-haq dan al-khalaq, al-khalaq adalah cermin bagi al-haq dan al-haq adalah cermin bagi al-khalaq. Perumpamaan ini mempunyai dua fungsi:
  •  untuk menjelaskan sebab penciptaan alam,
  • menjelaskan bagaimana munculnya yang banyak dari Yang Satu dan hubungan ontologis antara keduanya.

Fungsi pertama menjelaskan sebab Tuhan menciptakan alam semesta, agar dapat melihat diri-Nya dan memperlihatkan diri-Nya, serta ingin mengenalkan dir-Nya kepada alam. Fungsi kedua, menjelaskan munculnya dari Yang Satu menjadi banyak dan hubungan antar keduanya. Kejelasan pada cermin tergantung pada kualitas tingkat kebeningan cermin. Manusia merupakan cermin bagi al-haq, dikarenakan manusia memantulkan keseluruhan nama-nama dan sifat dari al-haq pada dirinya, sedangkan makhluk yang lain memantulkan hanya sebagian sifat dan nama itu[9].

Al-haq dan al-khalaq merupakan sebuah subjek dan objek secara serentak, keduanya adalah satu dan memiliki peran timbal-balik. Dan pembedanya adalah al-haq mempunyai wujud dan peran yang mutlak, sedangkan al-khalaq mempunyai wujud dan peran yang relative. Dilihat dari segi zat-Nya, Tuhan berbeda sekali dengan alam, Tuhan juga diluar jangkauan manusia. Tetapi dari penamaan dan sifatnya termanifestasikan dalam alam, karena Tuhan menampakkan diri-Nya ke alam.

Pemahaman bahwa Tuhan berbeda secara mutlak dengan alam dan tidak dapat diketahui melahirkan konsep tanzih, yang berasal dari kata nazzaha, yang berarti menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari yang mengotori. Sedangkan penekanan bahwa Tuhan, meskipun hanya pada tingkat tertentu, mempunyai kemiripan atau keserupaan dengan manusia dan alam melahirkan konsep tasybih, berasal dari kata syabaha, dan arti secara harfiah yakni menyerupai atau menganggap sesuatu serupa dengan yang lain.[10]
  • Nama-nama (asma-asma) Tuhan ada tiga jenis, yakni satu jenis nama yang negatif (sulub) seperti tak terbatas, atau memiliki makna negatif seperti abadi dan tak berpenghabisan. Yang pertama berarti yang tidak memiliki awal dan yang terakhir berarti tidak memiliki akhir.
  • Nama-nama yang kedua berjenis hubungan (nisbi) / idhafi, seperti yang pertama (al-awwal) dan terakhir (al-akhir), Maha Pencipta (al-khaliq) dan Tuhan (ar-rabb).
  • Nama jenis ketiga yang muncul sebagai turunan dari suatu sifat-sifat tertentu (shifat) Tuhan, seperti Maha Mengetahui (al-alim), Maha Kuasa (al-qadir), Maha Melihat (al-bashir) dan lain-lain.[11]

Dan juga falsafat ini timbul dari faham bahwa Allah sebagai diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat dirinya di luar dirinya dan oleh karena itu dijadikannya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, ia melihat kepada alam. Pada benda-benda yang ada dalam alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan. Yang ada dalam alam itu kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini sebagai orang yang melihat dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya : dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya sebenarnya satu, sebagai dijelaskan oleh al-Qashani dalam fushush “Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”.

Sebagai kata Parmenides : “yang ada itu satu, yang banyak itu tak ada, yang kelihatan banyak dengan panca indera adalah ilusi”.

Dengan kata lain, makhluk atau yang dijadikan, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.[12]


Daftar Pustaka
  • Hidayat, Komaruddin, 1995, Wahdatul Wujud dalam Perdebatan, cet.1, Jakarta.
  • Kautsar Azhari Noer, 1995, Ibn al-Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Cet. I, Paramadina, Jakarta.
  • Muhammad Abd. Haq Ansari, 1997, Merajut tradisi Syari’ah Sufisme, cet.1, Grafindo Persada, Jakarta.
  • Nasution Harun, 1973, Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, Bulan Bintang, Jakarta.
__________________
[1] Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Cet. I, (Jakarta; Paramadina, 1995), hlm. 5-6.
[2] Ibid, hlm 42.
[3] Ibid, hlm. 42
[4] Ibid, hlm. 57
[5] Harun Nasution, Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), hlm. 92
[6] Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut tradisi Syari’ah Sufisme, cet.1, (Jakarta, Grafindo Persada, 1997), hlm. 168-169
[7] Ibid., hlm. 171
[8] Kautsar Azhari Noer, hlm. 49
[9] Ibid, hlm. 53-55
[10]Ibid, hlm. 87
[11] Hidayat Komaruddin, Wahdatul Wujud dalam Perdebatan, cet.1, (Jakarta, 1995), hlm. 17-19
[12] Harun Nasution, hlm. 93


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved