Aneka Ragam Makalah

Makalah Pemanfaatan Sistem Manajemen Sisa Tanaman



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Makalah Pemanfaatan Sistem Manajemen Sisa-sisa Tanaman

Crop Residue Management System (CRM) sebagai Upaya Konservasi Tanah dan Air untuk Mencapai Pertanian Produktif yang Berkelanjutan


I. Pendahuluan

Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai hal-hal yang terkait dengan sistem CRM, efektifitasnya, penyebaran penggunaannya, dan bagaimana keberlanjutan penggunaan teknologi CRM sebagai salah satu teknik KTA. Penulis akan membahasnya secara berurutan dengan sumber informasi utama yang berasal dari 5 buah makalah yang terhimpun dalam Proceeding 8th ISCO Conference (1994) dengan tema “Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities”, Volume 2, Section X dengan judul “Resource Management and Tillage”.


PEMBAHASAN

II. Sistem Manajemen Sisa-sisa Tanaman/Crop Residue Management System (CRM) sebagai Salah Satu Teknik Konservasi Tanah dan Air

Sistem CRM adalah salah satu teknik konservasi tanah dan air (KTA) yang dilakukan sepanjang tahun terutama ditujukan untuk mengurangi erosi tanah oleh angin dan air. Sistem CRM ini termasuk dalam kategori KTA secara agronomi, karena dilakukan sepanjang tahun. Praktek-praktek KTA lainnya seperti contouring, terasering, grassed air, kontur strip rotasi tanaman, cropping strip angin, penghalang angin, dan lapangan windbreaks (Scherts dan Kemps, 1994). Praktek-praktek tersebut termasuk dalam kegiatan budidaya. Menurut Gajri dan Prihar (1984) budidaya adalah proses pengelolaan tanah untuk produksi tanaman yang diterapkan oleh manusia, hewan, atau mesin untuk mengolah tanah dengan mengubah lingkungan fisik.

Sistem CRM dimulai dengan menanam tanaman penghasil, kemudian setelah panen residu tanaman (residu) penghasil tersebut dibiarkan di atas permukaan tanah. Untuk itu tanah yang dikelola perlu direncanakan dengan hati-hati untuk menghindari penguburan residu tanaman secara berlebihan. Persentase luas area residu tanaman yang menutupi permukaan perlu ditentukan, mengingat mungkin saja sebelumnya telah ada praktek-praktek konservasi lain yang digunakan untuk mengurangi erosi tanah (Scherts dan Kemps, 1994).


III. Efektifitas CRM

Biasanya pada tanah yg dikerjakan infiltrasinya meningkat dan limpasan berkurang, karena kerak di permukaan tanah pecah. Data dari percobaan Rao dkk, (1994) menunjukkan bahwa peningkatan infiltrasi itu tidak berpengaruh pada limpasan tahunan dan perbedaan perlakuan pada tanah yg dikerjakan tersebut kecil dan tidak konsisten. Hal itu memperkuat pendapat Yule dkk (1990) yang mempelajari tanggapan atas tanah yg dikerjakan dari waktu ke waktu dan hasilnya menunjukkan bahwa berkurangnya limpasan hanya untuk suatu jangka pendek setelah tanah tersebut dikerjakan, tetapi kemudian terjadi degradasi struktural dan pembentukan kerak yang lebih banyak pada permukaan (Rao dkk, 1994). Asseline dkk., (1994) menyatakan bahwa pengolahan tanah justru dapat mengganggu tanah dan mengubah hubungan massa volume tanah. Hilangnya topsoil mengurangi bulk density tanah dan meningkatkan pemadatannya. Sebaliknya menurut Gajri dan rekan dalam sebuah tulisan yang tidak diterbitkan, perubahan kekuatan tanah pasir akibat pengelolaan justru tetap bertahan sampai waktu panen, tidak seperti bulk density (Gajri dan Prihar, 1994).

Oleh karena itu praktek manajemen pengelolaan tanah menurut Rao, dkk, (1994), harus bertujuan memaksimalkan infiltrasi air hujan ke tanah. Hal ini pada gilirannya berkaitan dengan pengelolaan permukaan tanah yang memadat. Berbagai pilihan manajemen pengelolaan tanah yang tersedia menurut Rao dkk (1994) adalah:

1. Memecah permukaan yang padat secara mekanis,

2. Melindungi permukaan dari degradasi struktural sebagai dampak turunnya hujan, dilakukan dengan penerapan residu tanaman sebagai mulsa;

3. Meningkatkan struktur tanah, dengan penambahan pupuk kandang peternakan yang cenderung meningkatkan stabilitas struktur tanah.

Residu tanaman yang ditinggalkan di permukaan tanah terbukti efektif melindungi tanah dari dampak hujan dan mengurangi kecepatan angin di permukaan tanah, sampai tumbuhnya kanopi tanaman berikutnya. Awalnya dilakukan pembajakan untuk mengganti tanah yg dikerjakan, membalikkan tanah dan mengubur residu tanaman, sehingga permukaan tanah yang retak menjadi lebih gembur, meninggalkan potongan akar, membunuh rumput liar, dan meninggalkan sebagian besar residu tanaman pada permukaan tanah. Namun, akibatnya pada penanaman berikutnya, sering dibutuhkan pekerjaan tambahan yakni pengendalian gulma, karena sebagian besar permukaan tanah terkubur oleh residu tanaman. Untuk itu digunakan bahan kimia atau kombinasi bahan kimia untuk mengendalikan gulma (Scherts dan Kemps, 1994). Selain pengendalian gulma, perubahan topografi mikro dan pencampuran amandemen, tanah yg dikerjakan juga ditujukan untuk pengentasan kendala tanah yang terkait dengan pertumbuhan tanaman. Struktur fisik tanah sering berubah dengan pengerjaan tanah dan dan pada gilirannya mempengaruhi lingkungan edaphic tanah (yaitu, impedansi mekanis, ketersediaan air tanah dan aerasi dan rezim termal) di persemaian dan/atau akar persemaian. Sejauh mana aspek ini akan berubah tergantung pada kondisi tanah yang ada dan jenis dan metode penerapan alat pada tanah yg dikerjakan.

Adapun keuntungan sistem CRM menurut Scherts dan Kemps (1994) antara lain:

1. mengurangi erosi tanah oleh air, besarnya bervariasi dari 40 hingga lebih dari 90 persen tergantung pada jumlah penutup permukaan tanah yang tersisa di permukaan. Namun, efektivitas pengendalian erosi residu tanaman juga ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis, jumlah dan cara aplikasi mulsa (Khera dan Kukal, 1994; Williams, John D., dkk., 2000). Manfaat dari residu tanaman permukaan dalam mengurangi erosi tanah oleh air juga berkorelasi erat dengan pengurangan erosi angin;

2. meningkatkan bahan organik pada tanah dari 1,87 % menjadi 4% dalam waktu sekitar 15 tahun, melalui penggunaan residu atau mulsa (Sparrow, dkk., 2006). Dengan adanya mulsa maka terjadi peningkatan jumlah bahan organik, dapat meningkatkan produktivitasnya dan akan lebih sulit tererosi, karena meningkatkan stabilitas agregat tanah dan infiltrasi, yang selanjutnya dapat mengurangi erosi tanah; (Khera dan Kukal, 1994; Rao dkk., 1994; Govaerts dkk, 2007). Residu tanaman penutup menghalangi air hujan sebelum mereka mencapai tanah, menetralkan energi yang tersimpan dan dengan demikian mengurangi pelepasan tanah dan transportasi. Bahan organik juga menghambat kecepatan aliran permukaan sehingga mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak (Khera dan Kukal, 1994; Arsyad, 2006). Sebaliknya penanaman yang intensif dapat menurunkan bahan organik tanah kurang dari separuh dari yang ada sebelum budidaya dimulai;

3. mengurangi efek kekeringan meningkat secara signifikan karena residu tanaman tersebut menghasilkan kelembaban tanah (Arsyad, 2006; Govaerts dkk, 2007). Mempertahankan kelembaban tanah adalah hal yang sangat penting untuk pertanian. Menurut Jalota dan Prihar (1990), sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), konservasi kelembaban tanah tersebut tergantung pada jenis tanah, kondisi iklim, dan kedalaman dan jenis tanah yg dikerjakan. Namun di daerah-daerah lembab, ketika tanaman sangat membutuhkan air, hujan justru tidak selalu terjadi. Sebagai contoh, Bauer dan Black (1991) dalam Scherts dan Kemps (1994), menemukan bahwa sistem CRM yang baik di Northern Great Plains di US, dapat menyimpan 6-10 cm kelembaban tanah dan meningkatkan sebesar 134 hasil gandum dan hasil barley sebesar 188 kg/ha.cm setiap tambahan kelembaban;

4. meningkatkan infiltrasi dan kapasitas menahan air serta menurunkan air limpasan dan penguapan, Akibatnya produksi tanaman per unit curah hujan meningkat. Menurut Moore (1981) ketidakstabilan struktur tanah akibat hujan dapat membentuk pemadatan di permukaan, sehingga dapat mengurangi infiltrasi dan meningkatkan limpasan. Akibatnya, air yang tersedia dalam profil akan berkurang (Rao dkk, 1994, Gajri dan Prihar, 1994). Dengan meninggalkan residu tanaman pada permukaan tanah melindungi permukaan tanah dari dampak tetesan air hujan, mengurangi gangguan, dispersi, dan penyegelan permukaan tanah berikutnya dan dengan demikian membantu mempertahankan tingkat infiltrasi yang tinggi dan mengurangi kecepatan limpasan (Khera dan Kukal, 1994; Parr dkk., 1990 dalam Rao dkk., 1994), menyediakan lebih banyak air untuk produksi tanaman dan meningkatkan pengisian ulang ke aquifers, serta meningkatkan proses aerasi oksigen tanah;

5. meningkatkan populasi serangga dan cacing-cacing yang memakan permukaan dan menggali bahan organik di dalam tanah untuk perlindungan (Govaerts dkk, 2007; Nikita dkk, 2009). Liang mereka sering memfasilitasi infiltrasi lebih cepat dan di beberapa daerah dapat secara signifikan mengurangi limpasan;

6. mengurangi evaporasi air dari tanah, meninggalkan lebih banyak air yang tersedia untuk digunakan tanaman (Gajri dan Prihar, 1994). Menurut Linden dkk (1987), sebagaimana dijelaskan oleh Scherts dan Kemps (1994); hanya dengan 30 persen residu tanaman yang menutupi permukaan tanah, maka potensi relatif evaporasinya mencapai 70 persen dibandingkan dengan jika tidak ada residu tanaman. Penggunaan mulsa ternyata cukup efektif dalam melestarikan kelembaban tanah dan meningkatkan hasil panen (Khera dan Kukal, 1994). Sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), di lingkungan sub-tropis India Utara, suhu di lapisan tanah yang dikerjakan dengan mulsa supra-optimal selama musim panas meningkatkan hasil panen jagung;

7. mempertahankan atau meningkatkan kualitas air permukaan. Pengelolaan residu tanaman membantu menjaga sedimen, kotoran hewan, patogen dan pestisida yang keluar dari permukaan di areal pengelolaan (Addiscott dan Dexter, 1994). Air yang mencapai aquifers umumnya mengandung kurang dari 1 persen pestisida dan 99 persen adalah bahan organik alami. Air yang telah disaring perlahan-lahan tersebut melalui Mollisols, dan praktis bebas dari patogen serta umumnya dapat diminum.


IV. Penyebaran penggunaan CRM di dunia

Sejak 1985, telah dikembangkan sekitar 1,7 juta rencana konservasi oleh kongres AS melalui UU Ketahanan Pangan yang berisi beberapa ketentuan konservasi. Rencana ini melibatkan sekitar 58 juta ha lahan pertanian sangat kritis. Pada Desember 1993, sekitar 70 persen dari lahan sangat kritis dikonservasi. Petani memilih beberapa bentuk CRM untuk memenuhi tujuan tersebut, untuk membantu petani mengendalikan erosi dan mendapatkan manfaat dari program USDA tersebut. Pemilihan sistem ini-terutama karena ekonomi dan manfaat pengendalian erosi (Scherts dan Kemps, 1994).

Penerapan sistem CRM terus meningkat di AS, didukung pula oleh Departemen AS Pertanian untuk menerapkan Rencana Aksi CRM yang komprehensif yang melibatkan lembaga 9 USDA (USDA, 1991) sebagaimana diuraikan oleh Scherts dan Kemps (1994). Rencana ini menekankan pada usaha:

1. Pengumpulan dan distribusi informasi ekonomi dari petani yang mempraktikkan sistem CRM yang baik;
2. Peningkatan pelatihan teknis untuk staf lapangan USDA;
3. Peningkatan kontak dengan petani,
4. Demonstrasi pertanian, dan
5. Peningkatan arus informasi teknis dengan membangun aliansi CRM pertanian.

Pada tahun 1989, CRM di AS umumnya hanya memanfaatkan 15 persen atau kurang dari permukaan lahan yang ditutupi dengan sisa tanaman. Pada tahun 1995 sistem CRM ditingkatkan, yang menutupi permukaan menjadi lebih besar daripada 15 persen lahan, dan hal itu meningkatkan produksi hampir 75 persen dari areal yang ditanam. Tren CRM di AS menunjukkan pengelolaan lahan tertutup 15% meningkat lebih cepat daripada sistem yang lain. Untuk jagung, lebih cepat mengadopsi no-till daripada sistem CRM bentuk lain, diikuti dengan kedelai dan kapas. Pada kapas saat ini hanya menggunakan no-till pada sebagian kecil dari total areal kapas. Prediksi menunjukkan bahwa kapas yang dikelola dengan no-till akan meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun mendatang. Sementara itu penggunaan mulch-till selama 3 tahun terakhir lebih lambat daripada no-till walaupun pada awalnya juga meningkat. Menurut Smika dan Wicks (1968), sistem yang paling efektif di AS untuk melestarikan ketersediaan air untuk tanaman adalah dengan no-till (Scherts dan Kemps, 1994), sementara itu pertumbuhan gulma dikendalikan oleh herbisida dan benih ditaburkan secara langsung ke dalam sisa tunggul dari tanaman sebelumnya.

Budidaya dan manajemen residu tanaman juga dapat mempengaruhi, mempertahankan atau meningkatkan kualitas air permukaan yang keluar dari permukaan di areal pengelolaan akibat penggunaan bahan kimia yang dipakai untuk mengendalikan gulma. Cara-cara tersebut dilakukan oleh petani di negara-negara Eropa dengan tujuan untuk mengubah struktur tanah, mengubah jalur aliran air dan meningkatkan aktivitas mikroba (Addiscott dan Dexter, 1994).

Residu tanaman dalam bentuk mulsa, setelah dipotong-potong di sebarkan merata di atas permukaan tanah atau jika digunakan sebagai pupuk hijau dibenamkan ke dalam tanah baik secara merata atau dalam jalur-jalur tertentu. Menurut Arsyad, 2006, penggunaan mulsa pada tanah Latosol di Citayam dan Podsolik di Lampung, telah diteliti oleh Suwardjo (1981), dan diketahui bahwa mulsa selain mengurangi erosi juga mempengaruhi suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi, kemantapan agregat dan perbaikan aerasi tanah. Penelitian penggunaan mulsa di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Sinukaban (2006) di daerah Darmaga dan Jasinga. Menurut Lal, Pribar, Siny dan Sandhu (1979) sebagaimana dijelaskan oleh Arsyad (2006), penurunan suhu tanah di daerah tropika merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya hasil tanaman. Daya guna mulsa dalam melindungi tanah dari daya perusak/erosi butir-butir hujan ditentukan oleh persentase penutupan tanah oleh mulsa tersebut (Sinukaban, 2006).

Beberapa studi pengukuran kekuatan tanah, menunjukkan bahwa tanah yg dibajak kekuatan tanahnya terhadap erosi oleh air berkurang secara signifikan di lapisan yang digarap. Sebaliknya Gangwar K.S dkk (2006) telah membuktikan bahwa dengan dikuranginya pembajakan namun tetap menggunakan residu tanaman pada tanah lempung berpasir di dataran Gangga India dapat mencapai produksi gandum yang optimal setelah sebelumnya ditanami padi terlebih dahulu. Williams, John D., dkk. (2000) juga membuktikan pertanian lahan kering di plato Columbia, Oregon dan Washington (AS) bahwa tanah yg dibajak memang dapat mengendalikan gulma dan penyakit dan secara konsisten menghasilkan hasil panen yang baik. Sayangnya, mereka juga merusak struktur tanah dan mengakibatkan banyak kerugian dengan air tanah erosi. Sebuah sistem konservasi baru menggunakan residu tanaman manajemen, yang lumbung-sistem bajak, telah menunjukkan janji untuk pengendalian gulma.

Tanah yg diolah secara konvensional, yakni dengan pembajakan, seringkali menciptakan kondisi yang dapat membatasi mikroba dan gerakan cacing tanah dalam mempercepat dekomposisi residu tanaman, yang pada akhirnya mengurangi pasokan makanan untuk cacing tanah. Dampak negatif ini dapat diatasi dengan mempertahankan residu tanaman di agroecosystems. Nikita dkk (2009) telah melakukan penelitian untuk menentukan efek dari berbagai tanah yg dikerjakan dan praktek-praktek pengelolaan residu tanaman pada populasi cacing tanah di di Quebec, Kanada. Pertumbuhan cacing tanah diamati pada tiga sistem tanah yg dikerjakan: dengan moldboard bajak/garu disk (CT), dengan pahat bajak atau garu disk (RT), pada tanah yg yang tidak diolah sama sekali (NT), serta pada tanah dengan dua tingkat input residu tanaman (tinggi dan rendah). Hasilnya diketahui bahwa populasi dan biomassa cacing tanah dalam jangka panjang lebih besar pada tanah yang tidak diolah (NT) daripada yang dibajak (CT dan RT), tapi rupanya kondisi tersebut tidak dipengaruhi oleh residu tanaman.

Tanah yang tidak diolah (ZT) mempengaruhi infiltrasi air dan kadar kelembaban tanah yang lebih besar ketika residu tanaman tersisa di lapangan daripada ketika tidak ada residu. Tingkat infiltrasi menjadi lebih tinggi dan menguntungkan karena didukung meningkatnya kelembaban tanah yang mencapai 30%. Walaupun terjadi pembusukan akar tanaman Jagung akibat peningkatan kelembaban tanah yang disebabkan oleh residu tanaman, akan tetapi dengan melakukan rotasi jagung dengan gandum mengurangi insiden akar membusuk jagung hingga 30%. Secara umum, insiden penyakit akar lebih rendah pada gandum (hingga 3 pada skala 7) daripada jagung (hingga 3,93 pada skala 4) untuk semua jenis pengolahan. Insiden akar membusuk dan populasi nematoda parasit ini juga tidak berkorelasi dengan hasil. Walaupun penyakit akar tanaman mungkin mempengaruhi produktivitas, namun dampaknya masih lebih kecil jika dibandingkan pengaruh faktor-faktor seperti berkurangnya infiltrasi dan ketersediaan air. Baik kondisi mikroflora maupun lingkungan memainkan peran kunci secara biologis dan kondisi patogen tanah. Praktek-praktek pengelolaan tanah dengan tanpa pengolahan seperti ini juga telah dilakukan di daerah semi-kering dan sawah tadah hujan pada dataran tinggi subtropis Meksiko Tengah (Govaerts, dkk. 2007).

Peningkatan kualitas tanah akibat peningkatan bahan organik juga dibuktikan oleh Sparrow, Stephen D., dkk., (2006) pada penelitian mereka di Alaska untuk berbagai tipe pengolahan tanah yakni yang tanpa pengolahan (NT), sekali pengolahan setiap musim semi (DO), dan dua kali pengolahan (DT, musim semi dan musim gugur). Diketahui bahwa hasil gabah, yang rata-rata 1.980 kg/ha selama lebih dari 17 tahun di seluruh wilayah studi, menunjukkan bahwa yang tertinggi adalah yang hanya sekali pengolahan (DO) dan tidak berbeda secara nyata antara NT dan DT, tapi gulma adalah masalah serius pada tanah yang yang tanpa pengolahan (NT). Dikuranginya praktek-praktek pengolahan tanah dapat meningkatkan kualitas tanah dan melestarikan bahan organik, tapi untuk jangka panjang di wilayah subarctic, tanah yang tanpa pengolahan (NT), tidak dapat dilakukan karena adanya masalah gulma.


V. Keberlanjutan penggunaan teknologi CRM

Setiap praktek konservasi pertanian saat ini harus ekonomis agar dapat diadopsi secara luas oleh para petani. Data menunjukkan bahwa sistem CRM ekonomis dan memberikan laba bersih sama atau lebih tinggi daripada tanah yg dikerjakan dengan cara lain. Petani dapat melaksanakan praktek ini dengan peralatan mereka apa adanya tanpa atau hanya ada perubahan kecil seperti beralih dari sekop bengkok ke sekop lurus atau garu agar lebih meninggalkan residu tanaman pada permukaan tanah. Selain menerapkan sistem CRM terdapat beberapa pemikiran KTA di kalangan petani AS agar memberikan penghasilan bersih yang lebih tinggi antara lain mengurangi jumlah, kedalaman dan kecepatan operasi tanah yg dikerjakan, serta menggunakan alat tertentu. Namun tidak sampai 3 tahun penggunaan CRM telah meningkat dari 8 juta ha menjadi 14 juta ha di Amerika Serikat (Scherts dan Kemps, 1994).

Studi tentang pengaruh tanaman penutup dan praktek-praktek pengelolaan residu untuk konservasi tanah dan air telah dilakukan pula oleh para ahli di dunia, seperti Khera dan Kukal (1994) di daerah Punjab. Sementara itu sebagaimana diuraikan oleh Prihar dkk, (1979), sejumlah penelitian di daerah-daerah tadah hujan juga memperlihatkan hasil bahwa mulsa jerami sangat baik digunakan dalam KTA untuk tujuan meningkatkan hasil panen (Khera dan Kukal, 1994).

Residu tanaman di banyak negara digunakan sebagai pakan hewan atau bahan bakar untuk memasak. Tuntutan-tuntutan ini menaikkan harga relatifnya (dari US $20 sampai $40 per ton jerami gandum di Asia Selatan). Menghilangkan pengelolaan tanah dapat mengurangi kebutuhan untuk hewan pembajak dan sisa tanaman untuk pakan mereka. Pengalaman di daerah iklim semi arid AS, bahwa meninggalkan residu tanaman pada tanah dapat menjadi investasi yang baik bahkan residu tersebut juga memiliki nilai penting untuk keperluan lain. Penggunaan jangka panjang sistem no-till terkait dengan efisiensi penggunaan air sehingga memungkinkan banyak petani di daerah tersebut bercocok tanam rapeseed, jagung, kedelai, kacang polong, lentil, sorgum, dan bunga matahari yang memerlukan lebih banyak air daripada gandum sebagai tanaman utama. Keuntungan besar yang dihasilkan dari CRM, meningkatkan fleksibilitas pemanfaatan pasar dan rotasi tanaman, agar efektif dalam memecahkan serangga, gulma, penyakit, dan nematoda dari siklus monokultur. Bauer dan Black (1991) menunjukkan pengalaman di dataran tengah bagian utara dan selatan Amerika Serikat, bahwa setiap cm air yang disimpan akan meningkatkan tambahan hasil gandum sekitar 100 kg/ha/cm (Scherts dan Kemps, 1994).

Air memang merupakan faktor utama yang membatasi produksi tanaman. Residu tanaman pada permukaan tanah memberikan peningkatan yang cukup besar dalam produksi dengan meningkatkan efisiensi penggunaan hujan. Sebagian besar hasil panen di tanah Alfisols Semi Arid Tropik terkendala oleh ketersediaan air. Oleh karena itu diperlukan praktek manajemen pengelolaan tanah yang dapat mengurangi kerugian dan meningkatkan penggunaan air hujan yang diperlukan (Rao, dkk., 1994). Penelitian dengan menggunakan model simulasi menyimpulkan bahwa untuk menangani interaksi kompleks dari komponen sistem produksi yang berkelanjutan, sangat memerlukan informasi mengenai perubahan pengelolaan tanah. Selain itu, informasi kuantitatif tentang tanaman, fisik tanah, kimia dan biologi lingkungan juga diperlukan (Gajri dan Prihar, 1994).

Bagi para petani yang berasal dari Plateau Potwar Pakistan dan daerah semiarid lainnya muncul pertanyaan apakah residu tanaman dapat memberikan hasil yang lebih baik jika dijual ke pasar atau ditinggalkan di tanah untuk meningkatkan hasil panen tahun depan? Saat ini sebagian besar Plateau Potwar Pakistan telah tandus dan terkikis, dengan curah hujan hanya 40-60 cm per tahun. Hal tersebut dipicu dengan meningkatnya populasi penduduk yang menggunakan pohon untuk bahan bakar dan konstruksi serta pemanfaatan rumput untuk pakan hewan. Asumsikan bahwa tanpa sisa, maka air yang tersedia di lapangan untuk tanaman sekitar setengah dari 50 cm curah hujan per tahunnya. Dengan curah hujan yang hanya 25 cm, para petani akan mampu menghasilkan sekitar 1.700 kg gandum dan sekitar 2000 kg jerami per ha. Dengan asumsi harga padi-padian dan jerami adalah US$0.11 dan $0,03 per kg, masing-masing, maka penghasilan bruto biji-bijian adalah US $187, ditambah US $60 untuk jerami, sehingga totalnya US $247 per ha. Jika petani Potwar dapat menyimpan 15 cm dari 25 cm hujan akan meningkatkan produksi 1.500 kg per ha menjadi total sekitar 3.200 kg per ha, dengan US $0,11 per ha petani akan menerima penghasilan kotor $352 per ha untuk padi. Jerami yang dihasilkan juga akan meningkat, tetapi jerami akan diperlukan di lapangan untuk konservasi tanah dan air. Petani akan menambahkan biaya untuk pupuk tambahan agar mendapatkan hasil yang lebih tinggi, tetapi biaya ini mungkin akan lebih kecil dari biaya pengangkutan ke pasar dan buruh terlibat, seperti untuk menyiangi rumput hijau sebagai pakan untuk ternak, atau dapat untuk mengendalikan gulma. Selain itu juga digunakan herbisida untuk mengontrol pertumbuhan gulma, sehingga mengurangi atau menghilangkan pengelolaan tanah yang mengubur sisa-sisa tanaman dan mengurangi efektivitas konservasi air.

Roldán, A dkk., (2003) menyimpulkan bahwa praktek-praktek konservasi pengolahan tanah dapat memberikan kontribusi teknologi alternatif untuk pertanian berkelanjutan di DAS Patzcuaro Meksiko, yang dapat disebarkan ke kawasan serupa di tempat lain di Amerika Latin. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa pengolahan tanah yang intensif secara konvensional untuk tanaman jagung (Zea mays L.) telah mengakibatkan degradasi kualitas tanah di Daerah Aliran Sungai Patzcuaro di Meksiko tengah. Kesimpulan tersebut diperoleh atas hasil evaluasi percobaan penanaman jagung dengan tujuh perawatan pengelolaan tanah yang diimplementasikan pada tanah lempung berpasir Andisol yakni pada tanah yg dikerjakan konvensional, pada tanah yg tanpa pengolahan dan pada tanah dengan berbagai persentase cakupan permukaan residu (0, 33, 66 dan 100%), serta pada tanah tanpa pengolahan dengan 33% residu tanaman penutup Vicia entah sp. atau Phaseolus vulgaris L. Hal yang hampir sama juga dilakukan oleh Sinukaban (2006) di Darmaga. Berbagai alternatif manajemen pengolahan tanah tersebut telah menunjukkan hasil peningkatan unsur hara. Sebagian besar karakteristik kualitas tanah meningkat berbanding lurus dengan input residu. Penggunaan manajemen tanah tanpa pengolahan maupun pengolahan tanah yang minimum bersama-sama dengan sisa tanaman dalam jumlah yang moderat (33%) dan ditanami spesies polongan cepat memperbaiki beberapa karakteristik kualitas tanah.


DAFTAR PUSTAKA
  • Addiscott, T.M dan A.R. Dexter, A.R. (1994) “Tillage and Crop Residue Management Effects on Losses of Chemicals from Soils” Soil and Tillage Research, Volume 30, Issues 2-4, June, hlm. 125-168.
  • Arsyad, Sitanala (2006). Konservasi Tanah dan Air, Ed. Ke-2, Penerbit IPB, Bogor, hlm. 122, 148
  • Asseline,J dkk., (1994). “Soil Erodibility in Mediterranean Mountains of Aveyron (Southern France)”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi, India, hlm.1321-1330.
  • Gajri, P.R dan Prihar, S.S. (1994). “Role of Tillage in Crop Production-The Indian Experience”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi, hlm.1305-1320.
  • Gangwar, K.S. dkk (2006) “Alternative Tillage and Crop Residue Management in Wheat after Rice in Sandy Loam Soils of Indo-Gangetic Plains” Soil and Tillage Research, Volume 88, Issues 1-2, July, hlm. 242-252.
  • Govaerts, Bram dkk (2007) "Infiltration, Soil Moisture, Root Rot and Nematode Populations after 12 years of Different Tillage, Residue and Crop Rotation Managements” Soil and Tillage Research, Volume 94, Issue 1, May, hlm. 209-219.
  • Khera, K.L. dan Kukal, S.S. (1994). “Soil and Water Conservation through Crop Cover and Residue Management, , 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi, hlm. 1295-1304.
  • Nikita dkk (2009) “Earthworm Populations and Growth Rates Related to Long-term Crop Residue and Tillage Management” Soil and Tillage Research, Volume 104, Issue 2, July, hlm. 311-316
  • Rao, K.P.C., dkk (1994). “Effect of Soil Management Practices on Runoff and Infiltration Processes of Hardsetting Alfisol in Semi-Arid Tropics”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi, hlm.1287-1293.
  • Roldán, A dkk., (2003). “No-Tillage, Crop Residue Additions, and Legume Cover Cropping Effects on Soil Quality Characteristics under Maize in Patzcuaro Watershed (Mexico)” Soil and Tillage Research, Volume 72, Issue 1, July, hlm. 65-73.
  • Sandretto, Carmen. Agricultural Chemicals and Production Technology: Glossary http://www.ers.usda.gov/Briefing/AgChemicals/glossary.htm [21 December 2000]
  • Scherts, D.L. dan Kemps, W.D. (1994). “Crop Residue Management System and Their Role in Achieving a Sustainable, Productive Agriculture”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities, Volume 2, New Delhi,hlm.1255-1265.
  • Scherts, D.L. (1994). “Conservation Tillage -A Natinal Perspective”. www.ag.auburn.edu/auxiliary/nsdl/scasc/Proceedings/.../Schertz.pdf
  • Sinukaban, Naik (2007). Konservasi Tanah dan Air: Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS, Ed. Ke-1, hlm.
  • Sparrow, Stephen D., dkk., (2006). “Soil Quality Response to Tillage and Crop Residue Removal under Subarctic Conditions” Soil and Tillage Research, Volume 91, Issues 1-2, December, hlm. 15-21.
  • Williams, John D., dkk. (2000) "Mow-Plow Crop Residue Management Influence on Soil Erosion in North-Central Oregon” Soil and Tillage Research, Volume 55, Issues 1-2, May, hlm. 71-78.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved