Aneka Ragam Makalah

Makalah Madrasah Setelah Indonesia Merdeka



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Makalah Madrasah Setelah Indonesia Merdeka

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam itu sendiri. Tentunya pendidikan islam yang paling awal adalah pendidikan yang terjadi melaui kontak informal, yaitu kontak yang terjadi pada setiap harinya di antara masyarakat muslim waktu itu. Perjalanan waktu pun menjadikan pendidikan islam berkembang, dalam hal ini pendidikan Islam telah diselenggarakan secara nonformal melalui masjid, surau, rengkag, dayah dan lain sebagainya. Tidak hanya secara nonformal pendidikan Islam pun berkembang menjadi pendidikan yang bersifat formal. Namun di Indonesia pendidikan yang bersifat formal ini mengalami pasang surut bahkan beberapa perlawanan, terlebih pada masa penjajahan sebelum kemerdekaan Indonesia.

Pendidikan Islam pada masa penjajahan, mendapat tantangan yang keras dari pihak penjajah, sebagaimana pendidikan Islam, dalam hal ini pelajaran agama Islam dilarang di muat dalam kurikulum sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh penjajah, tidak cukup hanya pelarangan pelajaran agama Islam di sekolah, pelarang tersebut berlanjut pada beberapa ordonansi yang dikeluarkan oleh pihak penjajah yang ordonansi tersebut sangat menutup ruang gerak perkembangan agama Islam. Menghadapi kondisi tersebut masyarakat Islam pun tidak hanya tinggal diam, beberapa tokoh Islam, melakukan perlawanan dengan mendirikan beberapa sekolah dan memasukkan pelajaran agama dalam sekolah tersebut. Sebagian lainnya memilih mendirikan pesantren, dimana dalam pengoperasiaannya tidak tergantung pada pemerintahan penjajah.

Perjalananan sejarah pendidikan islam Indonesia juga mencatat dinamika madrasah, yang di Indonesia madrasah merupakan perpaduan sistem sekolah dan sistem pesantren. Madrasah sebelum kemerdekaan merupakan cikal bakal yang dirintis oleh beberapa tokoh, seperti Abdullah Ahmad yang mendirikan madrasah Adabiyah sekitar tahun 1907, Zainuddin Labai el-Yunusiy yang mendirikan madrasah diniyah sekitar tahun 1915, dan lain sebagainya. Sebagai cikal bakal perkembangan madrasah di Indonesia, kedua madrasah di atas merupakan lembaga pendidikan yang pelajaran agamanya merupakan pelajaran pokok yang diberikan kepada siswa.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya, pendidikan Islam dalam hal ini madrasah masih menjadi kajian yang menarik dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, hal ini dikarenakan keberadaan madrasah yang berkali-kali mengalami pasang surut dalam mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang tentunya pelajaran agama Islam yang tidak dapat dilekangkan dari kurikulum madrasah tersebut.

Dinamika madrasah pun terus terjadi hingga hari ini, sebagai konsentrasi dinamika madrasah tersebut adalah mengenai perdebatan tentang muatan kurikulumnya. Di awal pendiriannya madrasah merupakan lembaga yang menjadikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, kemajuan zaman pun menghendaki adanya perubahan dalam kurikulum madrasah. Sehingga mengakibatkan diskusi yang panjang hingga sampai saat ini.

Akhirnya dalam tulisan singkat ini akan dikemukakan ulasan mengenai dinamika madrasah tersebut. Ulasan akan disajikan dengan beberapa kebijakan pemerintahan terhadap eksistensi madrasah tersebut. Hal ini dikarenakan, bahwa keberadaan madrasah setelah Indonesia tidak bisa terlepas dari politik pendidikan Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Madrasah Setelah Indonesia Merdeka

DINAMIKA EKSISTENSI MADRASAH
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa eksistensi madrasah tidak dapat terlepas dari gejolak politik pendidikan yang terjadi di Indonesia. Gejolak politik pendidikan tersebut berupa sejauh mana hubungan Negara dengan agama Islam. Dalam Hal ini eksistensi madrasah merupakan representasi dari kondisi hubungan Negara dan agama Islam. Mengenai hal ini Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arif mengilustrasikan bahwa dalam situasi dimana hubungan Islam dengan Negara mengarah pada konflik, perkembangan madrasah cenderung terbatasi, bahkan mungkin terancam eksistensinya. Begitu pun sebaliknya, dalam hubungan Negara dan Islam bersifat integratif, kebijakan orde baru terhadap madrasah tampak sangat positif dengan menempatkan madrasah secara konsisten dalam pendidikan nasional[1].

Gambaran diatas menerangkan bahwa eksistensi madrasah dalam sistem pendidikan nasional juga dipengaruhi oleh beberapa kepentingan pemerintah. Terlepas dari beberapa kepentingan pemerintah tersebut, maka selanjutnya akan dipaparkan dinamika eksistensi madrasah yang pembahasannya dibagi kepada : 1. Madrasah di awal kemerdekaan, 2. Madrasah SKB tiga Menteri, 3. Madrasah dalam UU Sikdinas No. 2 tahun 1989, dan Madrasah dalam UU Sikdinas No. 20 Tahun 2003.

1. Madrasah di Awal Kemerdekaan
Perkembangan pendidikan Islam di awal kemerdekaan Indonesia tentunya merupakan perjuangan yang panjang dalam mencapai pengakuannya. Dalam hal ini masyarakat muslim tentunya sangat berharap pada Departemen Agama yang diresmikan pada tanggal 3 Januari 1946.

Keberadaan Departemen Agama ketika itu merupakan lembaga pemerintahan yang memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya gesekan diantara kecenderungan pengabaian pendidikan Islam dan kecenderungan mempertimbangan pendidikan islam tersebut. Dalam hal inilah masyarakat muslim menaruh harapan yang besar terhadap kinerja Departemen Agama, yaitu bahwa masyarakat mengharapkan pendidikan islam agar diselenggarakan di sekolah, dan sekaligus mengharapkan Departemen Agama agar mengembangkan eksistensi madrasah.

Menyahuti aspirasi masyarakat muslim tersebut, dalam hal ini maka Departemen Agama memiliki beberapa tugas sebagai yang tertulis dalam sebuah dokumen yang menyebutkan tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama itu meliputi : pertama, memberi pengajaran agama di sekolah negeri maupun partikuler, kedua, memberikan pengetahuan umum di madrasah, dan ketiga mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).

Dari beberapa tugas bagian pendidikan Departemen Agama tersebut diatas, terlihat bahwa pemerintahan dalam hal ini Departemen Agama memiliki peranan yang sangat sentral dalam pengembangan pendidikan islam khususnya pada pengembangan madrasah. Hal inipun terlihat dengan dikeluarkannya peraturan menteri Agama Nomor 1 tahun 1946 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No.7 Tahun 1952. Dimana dalam peraturan menteri tersebut dijelaskan bahwa pemerintahan melalui Departemen Agama akan memberikan bantuan-bantuan kepada madrasah dalam bentuk material dan bimbingan. Melalui peraturan menteri tersebut juga dijelaskan ketentuan jenjang pendidikan pada madrasah yang terdiri dari :

1. Madrasah rendah, sekarang namanya disebut Madrasah Ibtidaiyah.
2. Madrasah lanjutan tingkat pertama, sekarang disebut dengan Madrasah Tsanawiyah.
3. Madrasah lanjutan atas, sekarang disebut namanya Madrasah Aliyah[2].

Tidak hanya sebatas memberikan bantuan dan bimbingan kepada madrasah, sebagai upaya peningkatan kualitas madrasah, maka pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, melakukan penegerian terhadap beberapa madrasah yang telah ada saat itu, baik madrasah tersebut yang dikelola oleh pribadi maupun madrasah yang dikelola oleh organisasi-organisasi keislaman. Sehingga Dalam hal ini sebagai mana yang dilangsir Haidar tercatat sejumlah ratusan madrasah negeri, yang meliputi tingkat ibtidaiyah dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), setingkat tsanawiyah dengan nama Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTsAIN), dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN)[3].

Mengenai penegerian beberapa madrasah tersebut, Abdul Rahman Shaleh menjelaskan penegerian madrasah yang diawali berdasarkan Surat Menteri Agama No. 80 Tahun 1967, yaitu dengan menegerikan Madrasah Tsanawiyah Sabilul Muttaqin, Magetan Madiun dan Madrasah Aliyah al-Islam Surakarta. Ia juga mengungkapkan bahwa madrasah negeri muncul sebagai akibat penyerahan 205 buah SRI (Sekolah Rakyat Islam) dari pemerintahan daerah Aceh (1946), 19 buah SRI Lampung dari Residen Lampung (1948), 1 Buah Madrasah Mambaul Ulum Surakarta, warisan Kesunanan (1956)[4].

Mengenai pengertian beberapa madrasah tersebut Rahman juga menambahkan bahwa penegerian madrasah tersebut dimaksudkan sebagai percontohan bagi madrasah swasta, sedangkan pembinaan madrasah swasta pada waktu itu diklasifikasikan menjadi status terdaftar dan disamakan. Pada status terdaftar madrasah mengikuti ujian persamaan madrasah negeri dan pada status dipersamakan madrasah mempunyai hak yang sama dengan madrasah negeri[5].

Di awal kemerdekaan Indonesia, Departemen Agama juga pernah melaksanakan sebuah kebijakan yang strategis dalam memperbaharui sistem pendidikan di madrasah. Departemen Agama yang saat itu dipimpin oleh KH. Moh Ilyas (1953-1959) memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) 8 tahun. Lamanya belajar MWB 8 tahun ini dengan pertimbangan bahwa pada umur 6 tahun anak sudah berhak bersekolah dan pada umur 15 tahun sesuai dengan undang-undang perburuhan yang berlaku anak telah diizinkan untuk mencari nafkah[6].

Mengenai madrasah wajib belajar 8 tahun ini, Haidar menjelaskan bahwa materi pelajarannya terdiri dari mata pelajaran agama, umum dan keterampilan dalam bidang ekonomi, industrialiasasi dan transmigrasi. Pendidikan agama, meliputi keimanan/akhlak, Qur’an, fiqh/ibadah, diberikan sejak kelas I s/d kelas VIII, tafsir dan hadis diberikan di kelas VII dan VIII, sejarah Islam diberikan mulai dari kelas III s/d VIII, sedangkan pelajaran bahasa Arab dimulai dari kelas V s/d kelas VIII. Mata pelajaran umum disetarakan dengan sekolah dasar, sedangkan kerajinan tangan (keterampilan), diajarkan mulai dari kelas I[7].

2. Madrasah SKB Tiga Menteri
Tak dapat terelakkan bahwa kelahiran madrasah SKB tiga menteri merupakan kekhawatiran masyarakat muslim Indonesia dengan eksistensi madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Dengan berlakunya SKB tiga menteri tersebut, maka eksistensi madrasah lebih nyata dan merupakan langkah yang strategis sebagai tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional.

Beberapa diktum yang tercantum dalam SKB tiga menteri tersebut menguatkan eksistensi madrasah, seperti dalam Bab I, pasal 1, ayat 2, yang berbunyi :

a. Madrasah Ibtidaiyyah, setingkat dengan Sekolah Dasar.
b. Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama.
c. Madrasah Aliyah, Setingkat dengan Sekolah menengah atas.

Dalam bab II pasal 2 disebutkan bahwa :

a. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum yang setingkat.
b. Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke Sekolah Umum setingkat lebih atas.
c. Siswa Madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum yang setingkat.

Selanjutnya mengenai pengeloaan dan pembinaan dinyatakan dalam bab IV pasal 4 sebagai berikut :

(1) Pengeloaan Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
(2) Pembinaan mata pelajaran Agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
(3) Pembinaan dan pengawasan mutu Mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Beberapa penjelasan diktum yang terdapat dalam SKB tiga Menteri tersebut, sehingga jelaslah bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum, yaitu lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya sebanyak 30 %, di samping mata pelajaran umum.

Mengenai mata pelajaran madrasah SKB tiga Menteri ini, Maksum menjelaskan sekalipun presentase mata pelajaran agama Islam adalah sekurang-kuragnya 30 %, namun semangatnya tetap 100 %. Pengertiannya “mata pelajaran agama tetap 100 % diberikan di Madrasah Aliyah sebagaimana yang sudah biasa dilaksanakan selama ini, hanya waktu yang disediakan untuk menyajikan mata pelajaran agama tersebut 30 % dari keseluruhan waktu/jam pelajaran yang ada di madrasah Aliyah[8].

Mengenai presentase tersebut, Muhaimin menjelaskan bahwa bahwa porsi 70 % pengetahuan umum dan 30 % pengetahuan agama rupanya dipahami secara simbolik kuantitatif dan bukan substansial kualitatif, sehingga lagi-lagi outputnya menjadi mandul, penguasaan pengetahuan umum masih dangkal dan pengetahuan agamanya pun tidak jauh berbeda[9].

Dengan berlakuya SKB tiga Menteri tersebut, maka perombakan kurikulum pada madrasah pun mengalami perubahan. Sehingga dengan SKB tiga Menteri tersebut madrasah memuat mata pelajaran-pelajaran umum dalam jumlah yang sama dengan kurikulum sekolah, sehingga dengan demikian madrasah dengan SKB tiga menteri ini dapat juga disebut dengan sekolah plus agama Islam bila ditinjau secara kelembagaan.

Mengenai kurikulum madrasah dalam SKB tiga Menteri ini, Maksum menjelaskan pada tahap awal setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978. Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi dengan melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 Tahun 1987. Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan[10].

Pada tingkat ibtidaiyah, komposisi kurikulum 1984 terdiri dari 15 mata pelajaran. Bidang studi agama hanya mencakup sekitar 30 % dengan lima mata pelajaran. Dua diantaranya baru diberikan mulai kelas tiga, yakni sejarah islam dan bahasa Arab. Selebihnya sekitar 70 % dengan 10 bidang study, merupakan mata-mata pelajaran umum yang diberikan sejak kelas satu hingga kelas enam. Pada tingkat Tsanawiyah, komposisi kurikulum dibagi ke dalam tiga jenis pendidikan : (1) Pendidikan dasar Umum, (2) Pendidikan dasar Akademik, dan (3) Pendidikan Keterampilan. Dari 16 mata pelajaran yang dimuat dalam kurikulum ini hanya terdapat lima mata pelajaran agama, yaitu : Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqh, Sejarah dan Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Tiga mata pelajaran yang pertama merupakan bagian dari tujuh mata pelajaran dalam jenis pendidikan dasar umum, sedang dua sisanya merupakan bagian dari delapan mata pelajaran dalam jenis pendidikan dasar akademik. Pada tingkat aliyah, struktur kurikulum berbeda antara satu jurusan dengan jurusan yang lainnya. Sesuai dengan kurikulum nasional 1984, pendidikan pada tingkat aliyah atau menengah atas umum terdiri dari lima pilihan jurusan : 1. A1 (ilmu-ilmu agama), 2. A2 (ilmu-ilmu fisika), 3. A3 (ilmu-ilmu biologi), 4. A4 (ilmu-ilmu Sosial), 5. A5. (Pengetahuan Budaya). Komponen kurikulum 1984 tingkat aliyah pada umumnya terbagi ke dalam dua program :Program Inti dan Program Pilihan. Termasuk ke dalam program inti adalah pendidikan agama yang mencakup lima mata pelajaran dan pendidikan dasar umum yang terdiri dari 19 mata pelajaran. Sedangkan dalam program pilihan hanya memuat pendidikan pengembangan yang kandungan atau mata-mata pelajarannya berbeda antara satu jurusan dengan jurusan lainnya.

Pada dasarnya SKB tiga Menteri ini merupakan langkah strategis untuk menghilangkan anggapan tehadap keberadaan madrasah yang selama ini termajinalkan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perbedaan yang mendasar bagi lulusan sekolah umum dan madrasah. Dalam hal ini, Haidar Putra Daulay setidaknya menjelaskan dua hal yang mendasar dalam perbedaan tersebut : pertama, di dalam kesempatan untuk melanjutkan studi. Dalam hal ini lulusan madrasah tidak memiliki kesempatan untuk memasuki universitas negeri, mereka hanya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi agama seperti IAIN atau perguruan tinggi agama swasta. Setelah adanya SKB tiga Menteri ini, maka lulusan madrasah telah memiliki kesempatan untuk memasuki universitas umum negeri. Kedua, adalah dari kesempatan bekerja. Sebelum lahirnya SKB tiga Menteri kesempatan untuk menjadi pengawai negeri maupun swasta, bagi alumnus madrasah hanya terbatas dalam lingkungan Departemen Agama atau lembaga keagmaan saja, tetapi dengan SKB tiga Menteri ini kesempatan itu lebih luas[11].

3. Madrasah dalam UU Sikdinas No 2 Tahun 1989
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan undang-undang yang telah menjadikan madrasah sebagai sub sistem dalam pendidikan nasional. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan tentang ketentuan jalur dan jenis pendidikan, berhubungang dengan madrasah maka dalam undang-undang tersebut madrasah digunakan dengan istilah sekolah keagamaan, hal ini berarti bahwa madrasah merupakan lembaga yang sama seperti sekolah pada setiap tingkat dan jenisnya.

Mengenai hal diatas, Maksum menjelaskan implikasi dari UUSPN terhadap pendidikan madrasah dapat diamati pada kurikulum dari semua jenjang pendidikan madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai dengan Aliyah. Secara umum perjenjangan itu pun paralel dengan perjenjangan pada pendidikan sekolah, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sampai dengan Sekolah Menengah Umum. Di bawah ketentuan yang terintegrasi itu, Madrasah Ibtidaiyah adalah Sekolah Dasar Berciri Khas Islam, Madrasah Tsanawiyah adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Berciri Khas Islam, keduanya-duanya, MI dan MTs, termasuk dalam Kategori pendidikan dasar[12]. Sedangkan Madrasah Aliyah, pada dasarnya dikategorikan sebagai Sekolah Menengah umum Berciri Khas Islam[13].

Keterangan diatas menjelasakan bahwa pada dasarnya undang-undang tersebut menghendaki persamaan kurikulum pendidikan diantara madrasah dan sekolah umum pada setiap jenis dan jenjangnya. Mengenai kurikulum ini dipertegas dengan Keputusan Menteri Agama RI No. 372 Tahun 1993 Tentang Kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Agama Islam. Adapun kutipan dari Keputusan Menteri Agama tersebut, sebagai berikut :

“ adapun isi kurikulum pendidikan dasar yang berciri khas agama Islam, di samping wajib memuat bahan kajian sebagaimana tersebut diatas, juga wajib memuat bahan kajian sebagai ciri khas agama Islam, yang tertuang dalam mata pelajaran agama dengan uraian sebagai berikut : a. Qur’an Hadis, b. Aqidah Akhlak, c. Fiqh, d. Sejarah Kebudayaan Islam, dan e. Bahasa Arab yang diselenggarakan dalam iklim yang menunjang pembentukan kepribadian muslim”.

Dengan adanya Keputusan Menteri Agama tersebut, maka jelaslah kurikulum madrasah selain memuat mata pelajaran umum sebagaimana yang biasanya termuat dalam kurikulum sekolah pada umumnya, kurikulum madrasah juga memuat pelajaran agama, dan muatan pelajaran agama inilah yang menjadikan madrasah sebagai sekolah berciri khas Islam.

Mengenai keberadaan madrasah Aliyah, pemerintahan dalam hal ini Departemen Agama melalui menterinya, mengeluarkan Keputusan Menteri agama No. 370 Tahun 1993, dimana dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa madrasah Aliyah adalah sekolah Menengah umum yang berciri agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Jika PP No. 29 Tahun 1990 membagi pendidikan menengah kepada : pendidikan Menengah Umum, Pendidikan Menengah Kejuruan, Pendidikan Menengah Keagamaan, Pendidikan Menengah Kedinasam, dan Pendidikan Menengah Luar biasa, sehingga berdasarkan Keputusan Menteri Agama tersebut, maka madrasah Aliyah dibagi kepada dua macam program pendidikan. Pertama, madrasah Aliyah yang kurikulumnya dan studinya sama dengan Sekolah Menengah Umum, dan yang kedua merupakan madrasah Aliyah Keagamaan.

Mengenai kurikulum madrasah Aliyah dalam Keputusan Menteri tersebut, maka sesungguhnya kurikulum madrasah memuat beberapa mata pelajaran umum, sebagaimana yang ada pada kurikulum Sekolah Menengah Umum, dan juga memuat pelajaran agama (Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab), sama seperti madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, keberadaan pelajaran agama dalam madrasah Aliyah menjadikannya sebagai Sekolah Menengah Umum berciri khas agama Islam. sehubungan dengan hal ini, Haidar menyatakan bahwa tujuan madrasah Aliyah tersebut ada dua, pertama perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan siswa , kedua pelaksanaan ciri-ciri keislamannya[14].

Mengenai madrasah Aliyah Keagamaan (MAK), merupakan madrasah yang memuat mata pelajaran agama sebesar 70 % dan pelajaran umum sebanyak 30 %. Tujuan dari program madrasah ini adalah menyiapkan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam.

4. Madrasah dalam UU Sikdinas No. 20 Tahun 2003
Pada dasarnya keberadaan madrasah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tidak jauh berbeda dari apa yang tertuang dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, namun dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 penyebutan madrasah secara nomenklatur telah tertuang dalam batang tubuh undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 17 ayat (2), yang berbunyi : Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Dan pada pasal 18 ayat (3), yang berbunyi : Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Penjelasan diatas, menegaskan bahwa keberadaan madrasah semakin kuat dalam integrasi pendidikan nasional. Sehingga eksistensinya sebagai sekolah berciri khas agama Islam semakin kuat dalam pendidikan nasional. Namun yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah bahwa dengan adanya pengakuan yang kuat terhadap eksistensi madrasah sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam, adalah mengenai kualitas lembaga tersebut dalam mencetak para lulusannya. Tentunya dengan berciri khas agama Islam yang disandarkan pada madrasah, maka lulusan madrasah haruslah lebih unggul dari lulusan sekolah, yaitu lulusan madrasah merupakan lulusan yang tidak hanya kualified dalam pelajaran umum, namun juga kuliafied dalam pelajaran agama. Tentunya dalam hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi madrasah tersebut.

Demikianlah beberapa dinamika yang terjadi pada eksistensi madrasah setelah Indonesia merdeka. Diawali dari hanya sebagai lembaga yang memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, berevolusi sebagai lembaga yang termasuk dalam subsistem pendidikan nasional, hingga akhirnya madrasah menjadi sistem yang integratif dalam sistem pendidikan nasional, dimana madrasah tersebut merupakan sekolah umum yang berciri khas Agama Islam.

Madrasah yang merupakan sekolah bercirikan agama Islam, pada dasarnya merupakan pengakuan yang dilematis yang ditujukan pada madrasah. Di satu sisi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam dituntut agar mampu mencetak para lulusan yang tafaquh dalam ilmu agama, namun di sisi lainnya timbul sebuah keraguan apakah mungkin lahir lulusan yang tafaquh dalam ilmu agama bila pelajaran agama hanya tersaji 30 % dalam madrasah.

Pengakuan dilematis tersebut bukanlah tidak beralasan, dalam hal ini Hasan Asari menjelaskan bahwa madrasah tetaplah madrasah dalam nama, tetapi ia telah berubah hampir sepenuhnya dalam hakikatnya. Jika dulu Syaikh Muhammad Thaib Umar merasa bahwa cita-citanya terwakili oleh “Madrasah-School” , maka madrasah sekarang lebih tepat diwakili oleh “School-Madrasah”. Syaikh M. Thaib Umar menginginkan madrasahnya berkembang dengan jati dirinya sendiri sambil menyerap unsur-unsur terbaik dari dunia persekolahan. Dewasa ini keinginan yang dominan, tampaknya adalah bagaimana agar madrasah berkembang secepat mungkin sehingga menjadi sama dengan sekolah[15].

BAB III
PENUTUP
Makalah Madrasah Setelah Indonesia Merdeka

Pengakuan terhadap eksistensi madrasah mengalami perjalanan yang panjang dalam sistem pendidikan nasional. Di awal kemerdekaan keberadaan madrasah sangat termajinalkan bahkan keberadaannya dianggap tidak ada. Hal ini disebabkan muatan kurikulumnya yang memuat pelajaran agama Islam sebagai kurikulum pokok pada madrasah, di lain pihak terjadi perdebatan diantara pengabaian pendidikan islam dan pengakuannya.

Eksistensi madrasah tidak dapat dipisahkan dari peran aktif pemerintahan dalam hal ini Departemen Agama. Departemen Agama yang merupakan representasi dari umat Islam, di awal kemerdekaan telah melakukan perbaikan terhadap madrasah, yaitu dengan memberikan bantuan kepada madrasah, baik berupa bantuan material maupun bimbingan dalam penyelenggaraan madrasah tersebut. Tidak hanya sampai disitu, Depertemen Agama pun mengeluarkan kebijakan untuk melakukan penegerian beberapa madrasah. Penegerian ini berarti bahwa pemerintah mulai mengakui eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan resmi, yang tentunya juga berimbas terhadap pengelolaan madrasah tersebut diselenggarakan oleh pemerintah pula.

Namun pada perkembangannya, status negeri yang telah dimiliki oleh beberapa madrasah tidaklah bisa melepas dari belenggu lembaga yang termajinalkan dari sekolah pada umumnya, hal ini dibuktikan masih sempitnya ruang gerak bagi lulusan madrasah dalam mencapai pendidikan yang lebih tinggi, bahkan lulusan madrasah hanya memiliki lapangan kerja yang sangat kecil, yaitu hanya terbatas pada Departemen Agama, dan lembaga lainnya yang hanya terkait dengan keagamaan saja.

Menyahuti permasalahan yang dialami oleh lulusan madrasah tersebut, maka Departemen Agama melakukan kebijakan berupa mengeluarkan SKB tiga Menteri.Sehingga dengan SKB Tiga Menteri tersebut eksistesnsi madrasah menjadi setara dengan sekolah, artinya lulusan madrasah memiliki kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah dalam mencapai pendidikan yang lebih tinggi, maupun garapan lapangan pekerjaan. Selanjutnya madrasah pun kian eksis dalam pendidikan nasional, bahkan menjadi pendidikan yang integratif dalam sistem pendidikan nasional, yang dikenal sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam.

Yang menjadi perhatian bahwa madrasah yang merupakan sekolah berciri khas agama Islam, jangan dipahami hanya sekedar simbolik saja, yaitu madrasah jangan hanya dipahami sebagai sekolah yang bernuansa islami, namun lebih jauh dari itu, yaitu madrasah harus mampu menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai keislaman pada setiap bidang pelajaran yang termuat dalam kurikulumnya. Tentunya hal ini berimbas kepada kebutuhan para guru madrasah yang mampu mengintegrasikan wawasan imtek dan imtaq. Dan untuk menciptkan guru madrasah tersebut tentunya IAIN maupun UIN harus mampu menjadi jawaban bagi penyediaan guru madrasah. Sehingga hal ini berimbas kepada kesiapan IAIN maupun UIN sebagai pendidikan tinggi Islam, dalam hal ini Fakultas Tarbiyah, membuka program studi-studi lainnya di samping jurusan keguruan Islam lainnya, seperti tadris Matematika, tadris IPA, tadris IPS, dan tadris lainnya. Hal ini dibutuhkan, sehingga fakultas Tarbiyah menjadi idola dalam mencetak guru-guru madrasah yang berkompeten sebagai guru yang mampu mengitegrasikan imtaq dan taqwa kepada murid-muridnya.

DAFTAR PUSTAKA
  • Asari Hasan, Esai-Esai Sejarah, Pedidikan , dan Kehidupan, (2009), Bandung : Citapustaka Media Perintis.
  • Daulay Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren dan Madrasah, (2001), Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.
  • -------------------------, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (2009), Jakarta : Kencana, Cet. Kedua.
  • Dawam Ainurrafiq dan Ta’arif Ahmad, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (2004), Sapen : Lista Fariska Putra.
  • Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (1999), Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
  • Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (2004), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. Kedua.
  • Shaleh Abdul Rahman, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa : Visi, Misi, dan Aksi, (2005), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Footnote
---------------------
[1] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arif, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (Sapen : Lista Fariska Putra, 2004), h. 49
[2] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 75
[3] Ibid
[4] Abdul Rahman Shaleh, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa : Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 24
[5] Ibid
[6] Ibid, h. 26
[7] Haidar Putra Daulay, Ibid, h. 76
[8] Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana ILmu, 1999), h. 151-151. Dalam penjelasan catatan kakinya, Ia menjelaskan Zakiyah Derajat menyambut formula 30 %-70 % itu dengan semangat kurikulum 100 %-100 % dengan pengertian di dalam pelajaran agama dimasukkan pelajaran umum dan di dalam pelajaran umum dimasukkan pelajaran agama, sehingga keduanya merupakan pelajaran yang integratif.
[9] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), Cet. Kedua, h. 176
[10] Maksum, Ibid, h. 153
[11] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2009), Cet. Kedua, h. 105
[12] Mengenai hal tersebut, tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No.368/93 tanggal 22 Desember 1993, Lihat juga PP No. 28 tahun 1990 disebutkan pada bab III pasal 4 ayat (3) : Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah.
[13] Lihat Keputusan Menteri Agama No. 370 Tahun 1993
[14] Haidar Putra Daulay, Op. Cit, h. 114
[15] Hasan Asari, Esai-Esai Sejarah, Pedidikan , dan Kehidupan, (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 103


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved