Aneka Ragam Makalah

Makalah Pemikiran Modernisasi Dalam Islam (Sunni-Syiah)



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
A. Pendahuluan
Propaganda dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan kaum Syiah dipacu oleh kepercayaan mereka terhadap wasiat Nabi yang menunjuk Ali sebagai Imam pertama di sebuah tempat yang terdapat genangan air yang dinamakan Ghadir Khumm, yaitu ketika Nabi kembali ke Madinah pulang dari perjalanan haji.[1]

Wasiat tersebut dapt dipandang penting, karena dapat memunculkan dan bahkan menjadi pangkal utama perselisihan antara kaum Syiah dan Sunni.Bagi kaum Syiah,wasiat tersebut adalah absah, sehingga menolak kekhalifahan Ustman, Umar dan bahkan Abu Bakar. Mereka disebut kaum Rafidlah (mereka yang menolak).Sementara bagi kaum Ahl al Sunnah Wa al Jamaah, wasiat ghadir Khum adalah palsu yang dibuat-buat oleh kaum Rafidlah.[2]

Pertikaian antara kaum Sunni dengan Syiah terus berlanjut hingga zaman sekarang, terutama di beberapa wilayah kaum muslimin. Namun meski demikian, ternyata dua kelompok besar dalam Islam ini mempunyai andil yang sangat besar dalam modernisasi Islam. Makalah ini akan mengkaji tentang modernisasi Islam dalam hubungannya dengan Sunni dan Syiah.


B. Pembaruan dan Modernisasi dalam Islam
Pada prinsipnya, pembaru Islam adalah orang yang memikirkan dan menyikapi fenomena kehidupan, agar umat terbebas dari belenggu sistem yang stagnan menuju kemajuan (modern) dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam hakiki. Jalan mereka untuk membebaskan dan memajukan umat ini pun sangat heterogen, ada yang akomodatif, provokatif, dan radikal.

Munculnya para pemikir dan pembaru seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Muhammad bin Abdil-Wahab (1703-1792 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1968 M), dan Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966 M), yang kemudian melahirkan apa yang disebut fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme, sekularisme Islam, nasionalisme, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk riil dari hasil interaksi intensif antara Islam dan persoalan kemasyarakatan.

Orientasi Pembaruan
Kemunduran umat Islam membuat kalangan intelektual Muslim berpikir keras bagaimana mengentaskan ketertinggalan umat Islam agar dapat berdiri sejajar dengan umat lain. Dalam rangka memajukan umat Islam dan mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, Jamaluddin Al-Afghani misalnya, lebih menitikberatkan pada nasionalisme Muslim dan persatuan umat Islam (Pan-Islamisme) untuk membebaskan umat Islam dari cengkraman penjajah, sedangkan Muhammad Abduh lebih banyak berorientasi pada bidang pendidikan dan pemahaman keagamaan dengan menghidupkan kembali ajaran rasional mu’tazilah dan menolak taklid buta. Tak heran jika banyak orang menyebut pemikiran Abduh sebagai Neo-Mu’tazilah.

Rasyid Ridha, salah seorang murid Abduh, dalam modernisasi umat Islam ia menganjurkan untuk kembali ke Alquran dan Sunnah. Menurut Ridha, dalam setiap menyelesaikan masalah umat Islam harus berpaling ke dua sumber tersebut, dan tidak perlu berpaling ke Barat. Ridha juga menekankan pembaruan dalam bidang hukum, untuk hal ini memerlukan restorasi Khilafah Islamiyah. Menurutnya, sistem politik Islam yang benar adalah sistem khilafah, di mana khalifah berkonsultasi kepada ulama karena ulama adalah penafsir hukum Islam. Meskipun Ridha mendukung berdirinya sistem khilafah, tetapi ia juga mendukung nasionalisme. Menurutnya, nasionalisme tidak akan melemah persatuan umat Islam transnasional (Pan-Islamisme) hingga ideal Islam tetap utuh.[3]

Muhammad bin Adil-Wahab menginginkan masyarakat Islam mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw. secara murni. Gerakan yang dimotorinya adalah gerakan yang bermaksud mengadakan purifikasi (pemurnian) atas ajaran Islam yang telah bercampur dengan budaya lokal. Dia menolak segala bentuk kemusyrikan seperti menziarahi kuburan orang-orang suci dengan maksud meminta berkah dan menyerang praktik-praktik aliran sufi yang dianggapnya sebagai bid’ah. Ia menganjurkan kembali ke Alquran dan Sunah dan menolak otoritas masa lampau dengan tetap menghormatinya. Pemikiran Abdil-Wahab ini diilhami oleh paham Ibnu Taimiyah, yang secara rutin menyerukan untuk kembali ke “asal-usul” Islam. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, dalam memberantas apa yang dianggapnya salah, Abdil-Wahab menggunakan kekuatan bersenjata dan kekerasan.

Hasan Al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimun), Al-Mawdudi (Pendiri Jema’at Islam), dan Sayyid Quthb (ideolog Ikhwanul Muslimun), adalah tokoh-tokoh yang sama berjuang melawan pemerintah yang tengah berkuasa yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Merekalah, menurut L. Carl Brown (Wajah Politik Islam, 2003: 234), yang memberikan landasan idologis bagi gerakan-gerakan radikal dari kelompok Sunni. Mereka dianggap sebagai inspirator yang melahirkan gerakan-gerakan radikal di seluruh penjuru dunia Islam, karangan-karang mereka merupakan buku yang wajib dibaca bagi mereka yang masuk dalam gerakan-gerakan radikal. Berbeda dengan Brown yang memandang Hasan Al-Banna sebagai fundamentalis, Karen Armstrong melihat Al-Banna tidak sebagai fundamentalis tapi sebagai reformis yang menginginkan reformasi fundamental masyarakat Islam.[4]

Sementara itu, modernisasi umat Islam untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat Barat, menurut Abdurraziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam. Menurut Raziq, Islam tidaklah datang tidak untuk membentuk sebuah negara dan begitu juga Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang nabi yang bertugas menyampaikan risalahnya, beliau tidak punya kewajiban membentuk sebuah negara. Menurut Abdurraziq, Islam tidak mengenal adanya lembaga kekhalifahan sebagaimana secara umum dipahami oleh kaum Muslim. Lembaga kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan. Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang. Agama (Islam) menyerahkannya kepada pilihan kita yang bebas.[5]

Menuju Humanisme Religius
Gerakan-gerakan pembaruan pemikiran keagamaan yang tumbuh dan berkembang di Timur Tengah pada prinsipnya adalah upaya menghidupkan kembali ajaran rasional mu’tazilah dan menolak taklid buta. Tak heran jika banyak orang menyebut pemikiran Abduh sebagai Neo-Mu’tazilah.

Sementara itu, modernisasi umat Islam untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat Barat, menurut Abdurraziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam. Menurut Raziq, Islam tidaklah datang tidak untuk membentuk sebuah negara dan begitu juga Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang nabi yang bertugas menyampaikan risalahnya, beliau tidak punya kewajiban membentuk sebuah negara. Menurut Abdurraziq, Islam tidak mengenal adanya lembaga kekhalifahan sebagaimana secara umum dipahami oleh kaum Muslim. Lembaga kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan. Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang. Agama (Islam) menyerahkannya kepada pilihan kita yang bebas.

Karena pemikiran dan gerakan itu terlalu “berorientasi kekuasaan”, bidang-bidang lain yang lebih menyentuh kebutuhan riil masyarakat hampir-hampir terlupakan. Padahal, bidang-bidang sosial, pendidikan, dan ekonomi yang memberdayakan masyarakat sangat penting bagi kemajuan kaum Muslim. Pemikiran-pemikiran rasional dalam gerakan pembaruan itu mestinya berpijak pada nilai intinya, yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia, yang tidak selama harus dengan kekuasaan.

Alquran ataupun hadits telah memberikan arahan untuk mengatasi persoalan-persoalan kemanusiaan, termasuk bagaimana agar kaum Muslim lepas dari kemiskinan. Persoalan ini pula menurut Emil Salim yang menjadi pekerjaan besar kaum Muslim. Agama tidak hanya mengajarkan bagaimana seorang hamba berhubungan dengan Sang Khalik. Itulah yang harus digarap oleh para tokoh-tokoh dan organisasi Islam. Kita harus menjadikan Islam sebagai driving force, maka lahirlah istilah revitalisasi kebangkitan Islam yang diharapkan bisa mengangkat derajat hidup masyarakat Indonesia dari perangkap kemiskinan.

Pembaruan pemikiran Islam menuntut upaya yang sungguh-sungguh, tidak hanya dalam bidang akidah dan ibadah dalam arti khas, tetapi juga ibadah-ibadah sosial. Gerakan pembaruan Islam harus dipahami sebagai upaya kembali kepada sumber ajaran Islam yang secara gamblang menuntut penggunaan akal untuk memahaminya dalam segala lapangan kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain sesuai perkembangan zaman.

Isu global yang menjadi tantangan umat dewasa ini adalah humanisme sekular. Menurut Syafiq Mughni ummat harus merespon isu tersebut dengan semangat “reformasi”, yang bermakna pemahaman teks-teks al-Quran dan Hadits secara sistematik mengantarkan pada pemahaman tujuannya secara reformatif.[6] Respons reformatif menuntut perumusan cita-cita Islam dan kemudian mengarahkan setiap pemikiran manusia dalam kerangka mendekati cita-cita itu.

Bentuk respons “reformatif”, menurut Syafiq bisa diartikan sebagai ijtihad yang paling proporsional, karena menuntut sikap terbuka tetapi kritis. Sikap terbuka berarti kesediaan untuk mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai kemanusiaan universal, dan sikap kritis berarti mengendalikan nilai-nilai itu agar bergerak ke arah cita-cita Islam. Reformasi seperti itu hanya dapat dilakukan jika mampu mengendalikan “humanisme sekular” ke arah “humanisme religius”, yakni nilai-nilai kemanusiaan yang tidak terpisah dari sistem Islam.

Oleh sebab itu, pengertian ijtihad dan ruang lingkup ijtihad harus diperluas, tidak hanya sebatas masalah-masalah “fiqh khas”, tetapi juga mencakup bidang sosial ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Ijtihad juga harus berorientasi pada upaya-upaya membangun dan memberdayakan masyarakat sehingga benar-benar maslahat bagi kemajauan umat manusia.

C. Sunni dan Pemikirannnya
Dalam politik Islam, Sunni adalah kelompok mayoritas yang selalu memegang supremasi kekuasaan. Pemikiran politik Sunni sering dijadikan sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang sedang berkembang di dunia Islam. Beberapa tokoh Sunni merumuskan pemikiran politik mereka yang cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan dan pro pada status quo. Pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris adalah ciri umum paradigma politik Sunni. Kepala negara atau khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut untuk mematuhi kepala negara, bahkan di kalangan sebagian pemikir Sunni kadang-kadang sangat berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar legitimasi keistimewaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Quran dan Hadis Nabi Saw. Di antaranya yang mereka jadikan landasan adalah surat al-Nisa, 4:59 yang memerintahkan umat Islam untuk patuh kepada Allah, Rasul-Nya dan ulu al-amr di antara mereka. Selain itu juga surat al-An`am, 6:165 yang menyatakan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi dan melebihkan sebagian atas yang lain.

Keberadaan kelompok Sunni dimulai sejak berakhirnya pemerintahan al-Khulafa` al-Rasyidun. Selain dinamakan Sunni, kelompok ini juga dikenal dengan nama ahl al-hadis wa al-sunnah, ahl al-haqq wa al-sunnah dan ahl al-haqq wa al-din wa al-jama`ah.[7] Secara sederhana dapat dikatakan bahwa paham Sunni adalah paham yang berpegang teguh pada tradisi salah satu mazhab dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali) dalam bidang fikih; ajaran Abu al-Hasan al-Asy`ari dan Abu Manshur al-Maturidi dalam bidang teologi; ajaran al-Junaid dan al-Ghazali dalam bidang tasauf[8] serta ajaran/pemikiran kelompok mayoritas ulama seperti al-Mawardi, al-Ghazali serta Ibn Taimiyah dalam bidang politik (siyasah). Istilah Sunni dikenal pemakaiannya dalam konteks politik dan untuk membedakannya dengan kelompok-kelompok politik lain seperti Khawarij dan Syi`ah.

Setelah Nabi Saw. wafat terjadi perdebatan di kalangan umat Islam tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam. Sebelum wafat Nabi tidak memilih dan menunjuk tentang siapa penggantinya kelak. Akhirnya, dalam sebuah pertemuan di Saqifah Bani Sa`idah, terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti Nabi. Setelah itu berturut-turut terpilih Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib sebagai pemimpin umat Islam. Mereka kemudian dikenal sebagai Khulafa al-Rasyidin.

Setelah berakhir masa khalifah yang empat tersebut, naiklah Mu`awiyah yang membangun Dinasti Bani Umaiyah. Namun naiknya Mu`awiyah mendapat tantangan dari sebagian umat Islam yang mendukung Ali (Syi`ah) dan kelompok sempalan Khawarij. Akhirnya pada periode awal umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu mayoritas pendukung Mu`awiyah yang kemudian dikenal dengan jamaah (Sunni), pendukung Ali (Syi`ah dan Khawarij. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Sunnilah yang paling mendominasi percturan politik Islam.

Sebagai kelompok mayoritas, ciri umum pemikiran politik Sunni ditandai oleh pandangan mereka tentang hubungan yang integral antara agama dan negara, khalifah sentris atau kewajiban taat kepada kepala negara, pengutamaan suku Quraisy sebagai khalifah, penolakan terhadap oposisi dan akomodatif terhadap kekuasaan. Pandangan-pandangan demikian akhirnya melahirkan prinsip lebih mengutamakan keharmonisan dalam politik Islam.

Dalam pandangan tentang hubungan yang integral antara agama dan negara, menurut tokoh Sunni, al-Mawardi, negara dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.[9] Pelembagaan negara merupakan fardhu kifayah berdasarkan ijma` ulama. Pandangan al-Mawardi ini didasarkan atas realitas sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik Bani Umaiyah maupun Bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuan politik umat Islam. Pandangan al-Mawardi ini juga sejalan dengan kaidah ushul fiqh ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna terpenuhi kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat tersebut juga wajib dipenuhi). Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, maka mendirikan negara sebagai sarana menciptakan kemaslahatan tersebut juga wajib.

Pendapat al-Mawardi di atas juga sejalan dengan pemikiran al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Di sinilah perlunya mereka hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, lanjut al-Ghazali, pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak. Berdasarkan pandangan di atas al-Ghazali berpendapat bahwa kewajiban pembentukan negara dan pemilihan kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbanga rasio, melainkan berdasarkan kewajiban agama (Syar`i). Hal ini dikarenakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat tidak tercapai tanpa pengamalan dan penghayatan agama secara benar.[10]

Berbeda dengan dua pemikir Sunni di atas, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang merupakan kewajiban agama yang terpenting, tetapi hal ini tidak berarti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara.[11] Ibn Taimiyah menolak landasan ijma` sebagai alasan pembentukan negara seperti dalam pandangan al-Mawardi. Ia lebih menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Ibn Taimiyah, kesejahteraan manusia tidak dapat tercapai kecuali hanya dalam satu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung dan membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Bagi Ibn Taimiyah, penegakan institusi negara bukanlah atas dasar agama, melainkan hanya kebutuhan praktis saja.

Dalam masalah kedua, semua pemikir Sunni yang menjadi objek penelitian ini sepakat tentang pentingnya kepatuhan kepada kepala negara. Mereka menganggap kepala negara sebagai sosok sentral dalam pemerintahan Islam. Otoritasnya tidak boleh digugat dan perintahnya tidak boleh dibantah. Dalam batas-batas tertentu bahkan kepatuhan ini bersifat mutlak.

Al-Mawardi memulai pendapatnya tentang kepatuhan kepada kepala negara dengan proses pemilihan kepala negara. Menurut al-Mawardi, pemilihan kepala negara harus memenuhi unsur ahl al-ikhtiyar (orang yang berhak memilih) dan ahl al-imamah (orang yang berhak menduduki jabatan kepala negara). Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara serta mempunyai wawasan yang luas dan kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang terbaik untuk negara. Kemudian, calon kepala negara harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berijtihad, sehat panca indranya, punya kemampuan menjalankan perintah agama demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah kekuasaan Islam, berjuang memerangi musuh serta berasal dari keturunan Quraisy.

Pemilihan kepala negara ini diawali dengan adanya kontrak antara ahl al-ikhtiyar dan ahl al-imamah ini. Dari kontrak ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kepala negara sebagai pemegang amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah. Kepala negara wajib menjalankan pemerintahannya dengan baik dan sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Sebagai balasannya, kepala negara berhak mendapatkan kepatuhan dari rakyat. Di sisi lain, rakyat yang telah memberikan bai`at mereka atas kepala negara wajib taat kepada kepala negara. Kewajiban taat ini tidak terbatas hanya untuk kepala negara yang baik dan adil, tetapi juga untuk kepala negara yang jahat.

Al-Mawardi melandaskan pandangannya pada surat al-Nisa’ ayat 49 yang mewajibkan umat Islam taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulul amri di antara mereka. Selain itu, al-Mawardi juga mengutip hadis Nabi dari Abu Hurairah, “Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kamu sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan dan taatilah mereka sesuai denga kebenaran. Kalau mereka baik, maka kebaikan itu untuk kamu dan mereka. Jika mereka jahat, maka akibat baiknya untuk kalian dan kejahatannya akan kembali kepada mereka.”

Ibn Taimiyah mengembangkan konsep ahl al-syaukah dalam teori politiknya. Menurut Ibn Taimiyah, ahl al-syaukah ini merupakan orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan kedudukan yang dihormati dalam masyarakat. Ahl al-syaukah inilah yang memilih kepala negara dan melakukan bai`at yang kemudian diikuti oleh rakyat. Seseorang tidak dapat menjadi kepala negara tanpa dukungan dari ahl al-syaukah.

Al-Ghazali juga merumuskan syarat-syarat kepala negara secara rinci. Menurutnya, kepala negara harus memenuhi kualifikasi dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, memperoleh hidayah dan ilmu pengetahuan serta wara’. Bagi al-Ghazali, karena kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat, seperti pendapat al-Mawardi, tetapi dari Tuhan, maka kekuasaan kepala negara adalah suci dan tidak boleh dibantah. Kepala negara menempati posisi sentral dalam negara.[12]

Berbeda dengan al-Mawardi dan al-Ghazali yang merumuskan kualifikasi kepala negara secara rinci, Ibn Taimiyah hanya menetapkan syarat kejujuran (amanah) dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah) bagi seorang kandidat kepala negara dan tidak memutlakkan suku Quraisy. Indikasi kejujuran seseorang dapat dilihat dari ketakwaannya kepada Allah, ketidakbersediaannya menjual ayat-ayat Allah demi kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis serta sikap tidak takutnya kepada manusia selama ia berasa dalam kebenaran. Untuk mendukung pendapatnya, Ibn Taimiyah mengutip ayat Al-Quran surat al-Nisa’, 4:58, yang memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya.

Sementara syarat quwwah memegang peranan penting dalam konsepsi politik Ibn Taimiyah, karena seorang kepala negara adalah pembimbing dan pengayom masyarakat. Tugas dan tanggung jawabnya sangat berat dengan otoritas tertinggi yang diperolehnya dalam masyarakat. Menurutnya, kewajiban kepala negara adalah menegakkan institusi amar ma`ruf nahy munkar, sehingga hal-hal yang dikehendaki Allah dapat terwujud dalam kehidupan umat Islam dan hak-hak individu terjamin dalam masyarakat.

Kelanjutan dari pendapat Ibn Taimyah ini adalah penekanannya terhadap kepatuhan rakyat pada kepala negara. Memang, sebagaimana halnya al-Mawardi, Ibn Taimiyah memandang figur kepala negara memegang posisi penting dalam negara. Sebagai pemimpin umat Islam, kepala negara harus ditaati, bahkan sekalipun zalim. Menurut Ibn Taimiyah, sebuah masyarakat yang enam puluh tahun dipimpin oleh kepala negara yang zalim lebih baik daripada masyaralat tanpa negara dan pimpinan, meskipun hanya semalam.

Dari pemikiran tentang kekuasaan kepala negara di atas, ketiga ulama Sunni ini merumuskan pemikiran bahwa tidak boleh ada oposisi atau perlawanan terhadap kepala negara. Al-Mawardi menyatakan hadis Nabi, seperti dikutip di atas untuk mendukung pendapatnya bahwa kepala negara bersifat mutlak kekuasaannya. Melakukan oposisi, meskipun al-Mawardi mengembangkan teori kontrak sosial, adalah hal yang dilarang. Hal yang sama juga ditegaskan oleh al-Ghazali. Bagi Hujjah al-Islam ini, wajib hukumnya atas rakyat dari tingkat mana pun untuk taat mutlak kepada kepala negara dan melaksanakan perintahnya.

Larangan oposisi dalam pemikiran politik Sunni klasik ini lebih didasarkan pada akibat buruk yang mungkin terjadi dalam masyarakat. Sangat mungkin timbul suasana chaos dalam negara bila rakyat melakukan oposisi terhadap kepela negara. Karena itu, bagi mereka, menghindarkan kekacauan yang lebih besar merupakan hal yang perlu diambil. Lebih baik dalam suasana pemerintahan yang despotik, umpamanya, namun masyarakat tidak bergolak, daripada menolak kepemimpinannya sehingga menimbul gejolak dalam masyarakat. Bagi ketiga pemikir Sunni ini, kepala negara adalah bayang-bayang Allah di muka bumi.

Syiah dan Perubahan Politik

1. Perubahan Sistem Politik Islam
Pada waktu Mu’awiyah menunjuk Yazid sebagai penggantinya, terjadi pergantian dan perubahan sistem politik Islam dari sistem khilafah (sistem pemilihan, siapa yang paling 'alim, taat, baik akhlaknya). Dengan munculnya Mu'awiyyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah maka gelar khalifah tetap dipakai tetapi bukan Khalifaturrasul, melainkan khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh (pengganti wakil Allah dimuka bumi, bayang-bayang Allah dimuka bumi). Jadi, Mu'awiyyah lebih hebat lagi. Kalau Abu Bakar Siddik yang sangat dekat dengan Rasulullah s.a.w. hanya menyebut dirinya khalifaturrasul (wakil Rasulullah), tapi Mu'awiyyah bin Abi Sufyan mengklaim sebagai khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh. Dari sinilah asal kemunculan Syiah, jelas merasa diliciki, dan memang diliciki oleh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan.

Mereka kemudian menjadi kelompok yang kuat, yang dikenal dengan Syiah.Karena itulah konsep Syiah yang paling menonjol dan khas sebetulnya dalam bidang politik. Yang menjadi perbedaan antara aliran Syiah dengan Sunnah adalah dalam bidang pemikiran politik. Hak kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, yang disebut Imam. Jadi imam berbeda-beda dalam Syiah, karena dalam Syiah juga muncul berbeda-beda, ada Syiah moderat (mayoritas), ada juga kelompok ekstrem (ghulat). Kelompok ekstrem bahkan ada yang berpendapat (sebagian kecil), tidak hanya menolak kepemimpinan Mu'awiyyah, tapi juga kepemimpinan khulafaurrasyidin lain seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan mengatakan bahwa hak kerasulan adalah hak Ali bin Abi Thalib bukan hak Muhammad s.a.w. karena sebetulnya wahyu dipesankan oleh Allah melalui Jibril untuk disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib, bukan kepada Muhammad s.a.w. Yang ektrem sangat sedikit, antara lain berada di Yaman. Yang paling banyak Syiah duabelas, Itsna As'ariyah, atau Syiah Imamiyah, yaitu imamnya dua belas.Imam-imam Syiah itu ada duabelas. Pertama Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin, Sayidina Muhammad bin Ali Al-Baqir, Imam Ja'far Muhammad Shadiq, Imam Musa bin Ja'far Al-Qadhim, Imam Muhammad bin Ali Jawwad, Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi, Imam Hasan bin Muhammad Al-Askari, Imam Muhammad bin Hasan Al-Qaim (yang disebut sebagai imam yang ghaib) Imam Al-Muntadhar, imam yang ditunggu.Dalam tradisi Syiah, imam mempunyai posisi politik yang tinggi, terutama sebelum munculnya kembali Imam Al-Muntadhar. Imam bukan hanya sebagai orang yang memiliki otoritas dalam keagamaan, imam shalat, tetapi sekaligus sebagai pemimpin politik. Dan oleh karena itu, politik atau kekuasaan adalah milik imam. Dan imam adalah orang yang ma'shum (bebas dari dosa).

Di dalam tradisi Syiah, ulama-ulama yang betul-betul ahli dalam ilmu syariah, sekitar sepuluh sampai dengan lima orang, mereka dipilih dan dibentuk semacam dewan. Mereka inilah yang membentuk sebuah lembaga yang disebut, dalam tradisi Syiah, wilayatul faqih. Dalam tradisi Sunni sejenis wilayatul faqih ini sebetulnya juga ada, disebut ahlul halli wal aqdhi. Yaitu kelompok ulama yang berwenang, memiliki otoritas dan mengikat. Atau lebih dikenal dalam istilah lain, majelis syura. Di NU (Nahdhatul 'Ulama) ada Majelis Syura, yang fungsinya sama dengan wilayatul faqih dalam Syiah. Meski pun dalam prakteknya, berbeda dengan di Iran. Fungsi majelis syura dikalangan Muslim Sunni sangat lemah bahkan dalam bidang politik tidak banyak berperan. Jadi hanya memberikan pandangan-pandangan keagamaan, tidak mempunyai kekuatan nyata. Tetapi dalam tradisi Syiah, yang namanya wilayatul faqih, sangat dominan, baik secara agama maupun politik.Itulah yang kita saksikan di Iran, setelah Revolusi Islam Iran (RII), 1979, dan sekarang fungsi dan kedudukan wilayatul faqih sangat dominan. Sejauh yang dijelaskan dalam naskah ini, kemunculan Syiah berkaitan dengan pertikaian politik. Karena itu kemudian salah satu konsep sentral bagi Syiah adalah soal politik, yaitu tentang kedudukan imam, kedudukan wakil imam, yang mutlak tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik. Dan karena itulah, kedudukan imam sangat sentral. Setiap orang Syiah harus mengikuti imam. Makanya, orang ahlu sunnah wal jamaah setelah RII 1979 merasa frustrasi karena umat Islam tidak mau bersatu. Kemudian dikalangan umat Islam Indonesia muncul gagasan, tirulah konsep imamah dari Syiah. Pada tahun 80-an muncul konsep atau gerakan Islam di Indonesia yang mengadopsi kepemimpinan imamah yang sentralistik. Atau kemudian kalangan ahlu sunnah wal jamaah mengambil konsep tentang amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman. Tapi harus segera dikatakan, kalau ada gerakan Indonesia yang memakai konsep kepemimpinan imamah, jangan dianggap Syiah. Tidak. Yang mereka ambil dengan imamah adalah konsep kepemimpinan yang sentralistik. Yang satu. Tidak terpecah-belah. Bisa dipahami, gerakan Islam di Indonesia, khususnya anak muda, frustrasi dengan realitas kepemimpinan umat Islam Indonesia. Maka perlu mengadopsi kepemimpinan imamah seperti di Iran, kepemimpinan yang sentralistik, tunggal.Dalam Syiah, menyangkut kepemimpinan politik, sering dibandingkan orang dengan tradisi di dalam gereja. Di Katolik, kepemimpinan berada di Vatikan, pada paus, uskup, pastor dan struktur kebawahnya. Di dalam Sunni tidak ada imamah tunggal karena tradisi imamah dalam Sunni adalah imam masjid, tidak berfungsi sebagai social and political leadership. Imam, menurut Sunni tidak memainkan peran kepemimpinan sosial dan politik tapi hanya kepemimpinan dalam shalat saja. Inilah yang membuat frustrasi, banyak kalangan ahlu sunnah wal jamaah melihat kepemimpinan yang terpecah-belah, akhirnya mengadopsi model kepemimpinan Syiah.

Ulama yang terpilih untuk menjadi anggota wilayatul faqih bukan ulama sembarangan. Sangat dipercayai integritas dan keilmuannya. Mungkin berbeda dengan dalam tradisi Sunni; keulamaan longgar, siapa pun boleh menjadi ulama. Tapi dalam tradisi Syiah tidak begitu. Ada proses, bahkan ada pelatihan tertentu, pusatnya di Qum. Ada madrasah yang khusus mencetak calon ulama Syiah yang disiapkan menjadi mujtahid. Dalam bidang kalam, Syiah umumnya menganut kalam yang dikembangkan Mu'tazilah. Suatu aliran tradisi kalam dalam Sunni yang menekankan akal, disebut kaum rasional. Bahkan Muhammad Abduh, pembaharu Islam di abad ke-20 dari Mesir, dipandang sebagai orang yang paling berperan dalam menghidupkan kembali paham bahwa Islam adalah agama rasional. Agama yang mendorong bahwa orang Islam harus proaktif, harus punya prakarsa, tidak menyerah kepada takdir, seolah takdir sudah ditentukan begitu saja, sehingga kita tidak perlu berupaya. Inilah sikap yang ditolak oleh orang Mu'tazilah.Jadi, Mu'tazilah menekankan pada semangat rasional, semangat prakarsa. Orang Syiah mengikuti pandangan itu. Tentu saja ada perbedaan seperti itu dikalangan orang Syiah dengan Sunni. Yaitu ketika berbicara mengenai siapa saja yang dipandang ma'shum. Menurut tradisi Sunni, yang ma'shum hanya Rasulullah Muhammad s.a.w. setelah itu tidak ada lagi yang bebas dari dosa. Tapi orang Syiah menganggap para imamnya yang duabelas ma'shum. Dalam pandangan orang Syiah, sama dengan orang Sunni, Allah Maha Adil, tidak mungkin menghukum orang yang tidak bersalah. Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih, karena melalui kebebasan itulah maka bisa dituntut pertanggungjawabannya. Seseorang tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya jika terpaksa (mujbir). Inilah argumen kaum rasionalis dalam Islam yang diikuti juga oleh Syiah.

2. Modernisasi Politik Di Iran 1963-1997
Iran merupakan salah satu Negara Timur Tengah, dimana mayoritas masyarakatnya bermazhab Shiism. Shiism adalah salah satu gerakan politik keagamaan Islam pada pertengahan abad ke-18 yang dalam perkembangannya berhasil mendirikan sebuah negara Republik Islam Iran. Sebagai salah satu aliran agama, ummat Shiism cenderung memiliki sifat fanatisme yang kuat kepada pemimpinnya dan ajaran-ajaran mazhabnya (puritan) dan para mullah senantiasa aktif dalam perpolitikan sehingga mampu mengantarkan ”modernisasi politik” di Iran

Modernisasi politik di Iran sudah dimulai sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979, dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh sejarah berdirinya Republik Islam Iran dimana Mazhab Shiism sebagai ideologi revolusioner memberikan nilai-nilai tersendiri bagi perjuangannya. Berkenaan dengan modernisasi politik Iran, nampaknya Proses modernisasi yang terjadi di Iran menyerupai model modernisasi tipe kolektifitas suci (cosumatorry collective) yang berlangsung dalam sistem mobilisasi (mobilized system) dimana rakyat menjadi agen modernisasi.

Implikasi dari proses modernisasi yang demikian, minimal bisa memberikan gambaran tentang apa itu Shiism dan bagaimana politik Shiism, serta ajaran-ajaran tradisi Shiism di Iran. Setidaknya juga menginformasikan betapa kuatnya masyarakat Iran memegang kebudayaan dan nilai-nilai yang diwarisi dari ajaran mazhab Shiism. serta melahirkan suatu bentuk masyarakat politik modern dengan ciri dan karakter yang berbeda dari masyarakat modern di negara lain.

Mempertemukan Sunni-Syiah
Mungkinkah mempertemukan Suni dengan Syiah? Pertanyaan itu menjadi sulit, ketika berhadapan berbagai soal. Bagi pengikut Syiah, Ali bin Abi Thalib RA dan keturunannya merupakan imam-imam, para pemimpin agama dan umat, setelah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan bagi pengikut Suni, Ali bin Abi Thalib layaknya tiga Khulafaur Rasyidin lainnya—Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Usman bin Affan.

Menurut Syiah, Ali dan keturunannya lebih berhak menjadi khalifah ketimbang Muawiyah bin Abu Sofyan dan keturunannya. Sementara, bagi pengikut Suni atau Ahlus Sunnah wal Jamaah, pertentangan antara Muawiyah dan Ali sudah merupakan Sunatullah. Bahkan, ketika Muawiyah menurunkan kekhalifahan kepada anaknya, Yazid—sebelumnya kekhalifahan dipilih secara musyawarah—juga dianggap sebagai rahasia Allah SWT dan bagian dari perjalanan sejarah umat Islam.

Pengikut Syiah yang berkembang di Iran saat ini adalah Syiah Ja’fari. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan 12 imam sebagai penerus risalahnya. Ke-12 imam ini dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menurun hingga ke keturunannya yang ke-12, Muhammad Al-Muntazar (Al-Mahdi).

Menurut beberapa pemikir Islam, bila dicari perbedaan antara Syiah dan Suni, akan bisa diurai panjang lebar dan tidak ada habisnya. Ujung-ujungnya, konflik berdarah berkepanjangan. Ia menunjuk kasus Irak, Pakistan, Lebanon, dan di negara-negara lain. Di negara-negara tersebut, konflik antarkelompok Islam telah banyak memakan korban. Padahal, Islam seharusnya menjadi agama yang memberi kedamaian.

Berangkat dari fakta itu, para tokoh pemikir kaum muslimin berusaha mengampanyekan modernisasi Islam. Islam adalah agama rahmatan lilalamin, agama yang memberi rahmat, bukan memberi kesengsaraan dan penderitaan. Modernisasi pemikiran, khususnya dalam pemikiran Islam, diyakini dapat memberi basis toleransi dan keterbukaan berpikir. Dengan pikiran yang luas, diharapkan kesenjangan antara kaum Sunni dan Syiah perlahan-perlahan bisa direduksi.

Selain itu, dengan adanya modernisasi pemikiran, barangkali yang diperlukan bukan lagi bagaimana mempertemukan Suni dengan Syiah, tapi bagaimana menggalang kerja sama yang lebih menguntungkan, tanpa menyentuh perbedaan prinsipil masing-masing.

Penutup
Sunni dan Syiah adalah dua kelompok besar teologi dan politik di dalam Islam. Masing-masing-masing sudah muncul sejak masa klasik, meski pelabelan nama “sunni-syiah” baru terjadi beberapa saat kemudian. Dalam hal modernisasi, baik Sunni maupun Syi’ah menyumbang besar dalam pemikiran politik. Syiah dengan konsep imamahnya di Iran berhasil menjelma menjadi sebuah negara Muslim berbasis Syia. Dalam pemikiran teologi, tampaknya Sunni sering mendapat kecaman sebagai penolak modernisasi, karena berbagai doktrin yang menyebabkan mandegnya berpikir. Seperti doktrin “perbuatan manusia diciptakan oleh tuhan”.

Daftar Pustaka
  • Abdullah, Taufik ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
  • Amstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, terj. Jakarta: Citra Pustaka, 2001.
  • Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1994.
  • Esposito, Jhon L., Islam dan Politik, terj. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990.
  • Ghazali, al-Tibr al-Masbûk fî Nâshihat al-Mulûk, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail. Bandung: Mizan, 1994.
  • Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan, terj. Jakarta: Mizan, 1996.
  • Mawardi, Abu al-Hasan al-Ahkâm al-Sulthâniyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.tp.
  • Mughni, Syafiq, Nilai-nilai Islam; Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi. Jakarta: Persada Grafindo, 2001.
  • Nasr, Seyyed Hossein, The Heart Of Islam, terj. Nurasiah Faqih Sutan Harahap, Pesan-pesan Universal Islam untuk kemanusiaan. Bandung: Mizan, 2003.
  • Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,. Jakarta: UI Press, 1986.
  • Taimiyah, Ibn, Minhaj al Sunnah al Nabawiyah fi Naqdl al Syiah wa al Qadariyah. Beirut,Dar al Kutub al Ilmiyah,tt.
  • ________, Ibn, Minhaj al-Sunah al-Nabawiyah II. Riyadh : Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.t.
  • ________, Ibn, Al-Siyâsah al-Syar`iyah fî Ishlâh al-Râ`i wa al-Ra`iyyah,. Mesir: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1969), h. 161.
Footnote
---------------
[1]Seyyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam, terj. Nurasiah Faqih Sutan Harahap, Pesan-pesan Universal Islam untuk kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003), h. 80.
[2]Ibn Taimiyah,Minhaj al Sunnah al Nabawiyah fi Naqdl al Syiah wa al Qadariyah (Beirut,Dar al Kutub al Ilmiyah,tt)h.118
[3] Jhon L. Esposito, Islam dan Politik, terj. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), hal. 84-89.
[4] Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Jakarta: Citra Pustaka, 2001), h. 350.
[5] Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan, terj. (Jakarta: Mizan, 1996), h. 47.
[6] Syafiq Mughni, Nilai-nilai Islam; Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi (Jakarta: Persada Grafindo, 2001), h. 34.
[7] Muhammad Amin Suma, “Kelommpok dan Gerakan,” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 358; lihat juga Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 64-65.
[8] Zamakhsyari Dhofier, Tradidi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 149.
[9] Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp.), h. 5.
[10] Al-Ghazali, al-Tibr al-Masbûk fî Nâshihat al-Mulûk, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail, (Bandung: Mizan, 1994), h. 136; lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74-76.
[11] Ibn Taimiyah, Al-Siyâsah al-Syar`iyah fî Ishlâh al-Râ`i wa al-Ra`iyyah, (Mesir: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1969), h. 161.
[12] Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunah al-Nabawiyah II, ( Riyadh : Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.t.), h. 209.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved