Aneka Ragam Makalah

ETIKA PROFESI HAKIM



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
1.1 Latar Belakang

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial.

Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.[1]

Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.

Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.[2] Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA dan KY.

Berkaitan dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA dan KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik harus disusun oleh profesi yang bersangkutan yang akan menjalankan kode etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yang akan menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.[3]

Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak pihak- pihak yang berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melakukan upaya- upaya luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.

Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:[4]


1. kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;
2. proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;
3. belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses);

4. semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu; dan

5. tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.

Hal-hal yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat "pengampunan" dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Profesi Hakim dan Karakteristiknya

Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.[5]Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.[6]

Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.[7]


1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.

2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.

4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.

5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:


"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."[8]


6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.[9]

Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut. [10]

1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.

2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.

3. Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.

4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.


Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.


2.2 Persyaratan Calon Hakim

Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.[11]

a. Warga Negara Indonesia.
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.

e. Pegawai Negeri.
f. Sarjana hukum.
g. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.
h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.


2.3 Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim[12]

Proses pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan dan sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para peserta untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap yang disebut Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian prajabatan, yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.

Setelah melalui proses pengangkatan dan memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para peserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para peserta akan menerima berbagai materi keahlian di bidang hukum, dan mulai dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para peserta diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di berbagai pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah lebih mengarah pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham.


2.4 Pola Rekrutmen dan Kualitas Hakim

Bagaimana mekanisme perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim akan menentukan kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak awal memang memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah selayaknya terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya duduk di muka ruang pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang berkualitas terbaik. Faktanya, berbagai putusan pengadilan yang kontroversial terus bermunculan sehingga berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yang dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola rekrutmen hakim yang selama ini diterapkan di Indonesia.

Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus Buloggate yang membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari segi hukum dan amat mencederai perasaan hukum dan keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yang memutus perkara tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan kasus ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan adanya disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim non- karir.[13]

Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil LaW) cenderung memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri dan pemikiran yang mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut untuk membuat keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik yang besar. Hal ini berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yang sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, atau akademisi.[14]

Menurut Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik lulusan The University of Melbourne, pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu individu hakim, harus menjadi fokus agar sumber daya manusia (SDM) dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan).[15] Dalam artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza memaparkan kondisi yang ada dalam dunia peradilan berkaitan dengan kualitas profesi hakim seperti di bawah ini.[16]


1. Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (dan para pemangku otoritas hukum pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya Perang Sipil di negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber dari tidak adanya model kompetensi yang menjadi acuan mengenai karakter ideal yang sepatutnya dipunyai oleh setiap individu hakim.

2. Dalam survei yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2006, saat ditanyakan kepada para hakim, banyak hakim yang menyebutkan bahwa penambahan jumlah hakim dan staf pendukung sebagai prasyarat efektif kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam rangka peningkatan kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru menyimpulkan bahwa kualitas personel lembaga kehakiman tidak dipengaruhi oleh jumlah aparat peradilan. Mutu putusan para hakim berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka.

Selanjutnya, Reza menguraikan dua hal yang dapat menjadi alternatif solusi untuk mengembangkan integritas hakim sebagai berikut.[17]

1. Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan perlakuan SDM (HR/human resources treatment) secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan. Ini artinya, penilaian ketat tidak hanya diterapkan pada para kandidat hakim. Setelah menjabat, para kandidat terpilih harus diberikan penilaian secara berkala pula. Prinsipnya, semakin sentral peran SDM terhadap kinerja suatu organisasi, semakin ketat pula idealnya manajemen SDM diberlakukan pada organisasi tersebut.


2. Ke depan perlu dirumuskan acuan kinerja (performance standards atau distinct job manual) dan perangkat aturan organisasi lainnya sebagai pedoman pengembangan karir para hakim.

2.5 Tanggung Jawab Profesi

Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang harus ada dalam pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi dan bidang apapun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.[18]

1. Tugas, yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan yang harus dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara melaksanakannya.

2. Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut yang terdiri atas komponen pelaksana, pendukung, dan penunjang.

3. Lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan prasarana tempat para aparat melaksanakan tugasnya.

Bagi seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah tanggung jawab yang terkait tiga hal, yaitu:

1. mendapat kepercayaan untuk dapat mengemban tugas;
2. merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas; dan
3. merupakan suatu amanat yang harus dijaga dan dijalankan.

Tanggung jawab dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab

moral, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.[19]


2.6 Tanggung Jawab Moral Hakim

Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini. [20]

1. To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).

Peradaban Islam pun memiliki literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yang masih tercatat ialah risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di Kufah, yang selain mengungkapkan tentang pentingnya peradilan, cara pemeriksaan, dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi. Dalam risalah dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini.[21]

1. Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis, pandangan, dan putusan sehingga pihak yang merasa lebih mulia tidak mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yang lemah tidak berputus asa dalam usaha memperoleh keadilan hakim.

2. Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yang bersengketa kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:[22]
  • Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

  • Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;

  • Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;

  • Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan

  • Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.


Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:[23]

a. percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c. berkelakuan baik dan tidak tercela;
d. menjadi teladan bagi masyarakat;
e. menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;
f. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i. bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. dapat dipercaya; dan
k. berpandangan luas.

2.7 Sikap Hakim dalam Kedinasan

Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan.[24] Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:[25]

1. bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;

2. tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-piha yang berperkara;

3. harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;

4. harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan

5. bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim harus bersikap:[26]


1. taat kepada pimpinan;
2. menjaankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan jujur dan ikhlas;
3. berusaha memberi saran-saran yang membangun;
4. mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan
5. tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.

Sedangkan terhadap sesama rekan, hakim haruslah:[27]

1. memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;
2. memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama rekan;
3. memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan
4. menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.

Begitu pula terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:[28]

1. harus mempunyai sifat kepemimpinan;
2. membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;
3. harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;
4. memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan
5. memberi contoh kedisiplinan.

2.8 Sikap Hakim Di Luar Kedinasan

Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:[29]

1. memiliki kesehatan jasmani dan rohani;
2. berkelakuan baik dan tidak tercela;
3. tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
4. menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan
5. tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.

Sementara dalam kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:[30]

1. menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum maupun norma kesusilaan;
2. menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga dan rumah tangga;
3. menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat; dan
4. tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.

Sedangkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:[31]

1. selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;
2. dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan
3. harus menjaga nama baik dan martabat hakim.

2.9 Tanggung Jawab Hukum Hakim

Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:

a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));

b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan

c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).

Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.

Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:

- pelaksana putusan Mahkamah Agung;
- wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
- penasehat hukum; dan
- pengusaha.

b. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:

- dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

- melakukan perbuatan tercela;
- terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
- melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
- melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

c. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.

d. Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi

Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.

e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.


2.10 Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim

Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.

Daftar Pustaka
  • Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
  • Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.
  • Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 1999.
  • Mahendra, Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasai Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002.
  • Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006. Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005. Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Cet. ke-2. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
  • Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
  • Tasrif, S. "Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Usman, Suparman, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta,Gaya Media Pratam, 2008.
  • Widyadharma, Ignatius Ridwan. Hukum Profesi tentang Profesi Hukum. Semarang: CV Ananta, 1994.
  • Zakiah, Waingatu. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: Indonesian Corruption Watch, 2002.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved