Aneka Ragam Makalah

Neo Modernisme



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
Secara sederhana Postmodernisme atau Neo-Modernisme dapat diartikan dengan “pemahaman modernisme baru”. Neo-Modernisme dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir yang merupakan sintesis, setidaknya upaya sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Mudahnya, pola Neo-Modernisme berusaha menggabungkan dua faktor penting; modernisme dan tradisionalisme dimana sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa keduanya mempunyai sisisisi kelemahan. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang tegar bahkan kaku. Sedangkan Tradisionelisme Islam, merasa cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justeru dengan kekayaan itu para pendukung pemikiran ini sangat berorientasi kepada masa lampau dan sangat selektif menerima gagasangagasan modernisasi

Pendahuluan
Fazlurrahman dan Nurchalis Madjid adalah dua sosok pembaharu pemikiran Islam pada era masing-masing. Dua tokoh ini menelurkan ide-ide pembaharuan yang menkritisi modernisme. Kritik terhadap modernisme tersebut melahirkan pemikiran baru yang disebut dengan neo-modernisme atau postmodernisme. Lambat laun, kedua tokoh ini mulai dikenal dengan ide tersebut. Antara Nurchalish dengan Fazlurrahman mempunyai hubungan yang cukup erat, yakni murid dan guru. Dengan demikian tidak mengherankan bila ide-ide Fazlurrahman tumbuh dan berkembang pada diri Nurchalish Madjid. Makalah ini akan menguraikan tentang pemikiran neo-modernismes, sebagai analisa atas pemikiran ke dua tokoh tersebut.

B. Neo-Modernisme (Postmodern)
Secara sederhana Postmodernisme atau Neo-Modernisme dapat diartikan dengan “pemahaman modernisme baru”. Neo-Modernisme dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir yang merupakan sintesis, setidaknya upaya sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Mudahnya, pola Neo-Modernisme berusaha menggabungkan dua faktor penting; modernisme dan tradisionalisme dimana sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa keduanya mempunyai sisisisi kelemahan. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang tegar bahkan kaku. Sedangkan Tradisionelisme Islam, merasa cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justeru dengan kekayaan itu para pendukung pemikiran ini sangat berorientasi kepada masa lampau dan sangat selektif menerima gagasangagasan modernisasi. Dalam studi keislaman, istilah Neo-Modernisme diintroduksir oleh seorang tokoh gerakan pembaharu Islam asal Pakistan Fazlur Rahman (19191988). Adapun gejala Neo-Modernisme Islam di Indonesia menurut Greg Barton, mulai terlihat pada tahun 1970an yang dimotori oleh generasi muda terpelajar. Umumnya mereka yang berpendidikan modern, namun yang pasti mereka adalah generasi yang sudah matang pemikirannya dan dibesarkan oleh berbagai pengalaman. Mereka terdiri dari kaum cerdik yang memiliki pemikiran brilian dan selalu memicu kontroversi, karena tematema yang mereka aktualisasikan cukup mendasar, filosofis, dan bernuansa sosial, maka banyak mendapat respon positif. Dalam analisis Budhy Munawar Rahman[1], pemikiran Neo-Modernisme Islam dapat dikategorikan menjadi tiga tipologi, yaitu : 
a. Islam Rasionalis;
b. Islam Peradaban;
c. Islam Transformatif.

C. Biografi Fazlurrahman
Fazlur rahman
Fazlurrahman adalah seorang pembaru pemikiran Islam par excellent yang lahir dari tradisi keagamaan (mazhab Hanafi) yang cukup kuat. Lahir pada tanggal 21 September 1919, Fazlurrahman kecil terbiasa dengan pendidikan dan kajiankajian keislaman yang dilakukan oleh ayahnya sendiri, Maulana Syahab alDin, dan juga dari Madrasah Deoband. Dalam usia sepuluh tahun, ia sudah hafal AlQuran di luar kepala. Ketika berusia empat belas tahun, bocah yang suatu saat menjadi tokoh ini sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis, dan tafsir. Berikutnya, dia berhasil menguasai bahasa Persia, Urdu, Inggris, Perancis, dan Jerman, selain juga mempunyai pengetahuan yang workable tentang bahasabahasa Eropa Kuno, seperti Latin dan Yunani.

Pada tahun 1940, Rahman menyelesaikan program Bachelor of Artnya, dan dua tahun kemudian ia meraih gelar Master dalam bahasa Arab dari Universitas Punyab, Lahore. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya berhenti sampai di sini. Baginya, Perguruan tinggi di Anak Benua India masih bersifat formalistikakademik, sehingga kurang berbobot secara intelektual. Demikian pula perguruan tinggi di Timur Tengah., menurutnya, sama dengan perguruan tinggi di Anak Benua India yang dalam kajian Islam, semangat kritisnya amat rendah. Atas dasar itulah kemudian Rahman muda melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di sana ia berhasil meraih gelar Philosophy Doctor (Ph.D.) dengan menulis disertasi tentang konsep kenabian (Prophecy In Islam: Philosophy and Ortodoxy) yang digali pemikiran Ibnu Shina pada tahun 1049. Dari sinilah, seorang scholar yang matang dalam menguasai khazanah Islam klasik dan sekaligus bisa bersikap kritis terhadapnya itu meneguhkan komitmen untuk mengabdi pada kerjakerja intelektual.
D. Rekonstruksi Pemikiran Islam: Neo-Modernisme
Suasana pergolakan gerakan dan pemikiran Islam semacam itulah yang menjadi latar dan sekaligus rahim dimana Fazlurrahman berkembang dan membangun kesadaran berfikirnya. Rahman menguasai dengan baik khazanah keilmuan Islam klasik (baca: ortodoksi) dan sekaligus melek terhadap ilmuilmu moderen. Dia tidak ingin terbelit oleh salah satu dari dua kutub pemikiran yang menegang terus itu. Ia ingin mengatasinya, mengurainya, dan keluar dengan sintesa pemikiran baru yang menyegarkan dan mencerahkan; seraya memposisikan dirinya sebagai penganjur Neo-Modernisme.

Menurut Fazlurrahman, sejarah gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir, paling tidak, terbagi dalam empat tipologi. Dia menempatkan dirinya masuk dalam corak gerakan yang keempat. Keempat tipologi itu adalah sebagai berikut:

  1. Golongan Revivalis (PraModernis), mulai muncul pada akhir abad ke18 dan awal abad ke19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat.
  2. Gerakan Modernis, yang dipelopori oleh Jamaluddin AlAfghani (w. 1897) di seluruh Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) di India, dan Muhammad Abduh (w.1905) di Mesir.
  3. Gerakan NeoRevivalisme, yang mempunyai corak moderen namun agak reaksioner, dimana Abul A`la AlMawdudi dengan Jemaat Islaminya menjadi model yang tipikal bagi gerakan ini.
  4. Gerakan Neo-Modernisme, Rahman mengkategorikan dirinya termasuk dalam barisan gerakan ini. Sebab, menurutnya, Neo-Modernisme mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis di satu sisi dengan ijtihad dan tradisi klasik di sisi yang lain. Dan ini merupakan prasyarat utama bagi Renaissance Islam.
Model pemikiran sintesisprogresif semacam apakah yang dibawa gerakan Neo-Modernisme ini? Rahman, dalam catatan penulis, satu langkah lebih maju dari kalangan modernis maupun tradisionalis Islam dalam dua hal pokok. Pertama, berkaitan dengan soal metodologi. Kedua, berkaitan dengan buah pemikiran. Secara metodologis, Rahman memberi perspektif historis dalam menghampiri Islam dan di membubuhkan analisis hermeneutika obyektif dalam menggali AlQuran. Hasilnya adalah buah pemikiran yang mempunyai pijakan kukuh di atas pondasi tradisi (ortodoksi) Islam, sekaligus mampu keluar dari jebakan stagnasinya untuk menggamit ruh tradisi yang kontekstual dan kompatibel bagi zamannya, yakni ruh Islam yang substantif dan liberatif.
Analisis Historis: Islam Normatif dan Islam Historis
Metodologi Rahman untuk menghampiri Islam telah membuka cakrawala pengetahuan kita tentang adanya dua dimensi di dalam Islam, yakni: Islam Normatif dan Islam Historis. Dalam bukunya yang berjudul, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982), Rahman merekomendasikan perlunya pembedaan antara Islam normatif dan Islam historis. Menurutnya, Islam normatif adalah ajaranajaran AlQuran dan Sunnah Nabi yang berbentuk nilainilai moral dan prinsipprinsip dasar, sedang Islam historis adalah penafsiran yang dilakukan terhadap ajaran Islam dalam bentuknya yang beragam.

Di satu sisi pembedaan ini mensyaratkan adanya penafsiran yang sistematis, holistik, dan koheren terhadap AlQuran dan Sunnah, sehingga nilainilainya yang transenden dan azali bisa digali dan ditemukan. Sementara di sisi yang lain, pembedaan tersebut juga mengharuskan adanya analisis dan peniliaian yang kritis terhadap praktik dan penafsiran Islam oleh para pemeluknya sepanjang sejarah. [2]

Dengan demikian, dari sisi yang pertama kita akan mengetahui prinsipprinsip dasar normatifitas agama Islam. Dan untuk itu dibutuhkan metodologi yang tepat untuk menafsirkan secara akurat pesanpesan normatif AlQuran maupun

Sunnah. Sedangkan dari sisi yang kedua tadi, kita akan mengetahui dimensi kesejarahan atau historisitas agama Islam. Dan agar nilainilai agung dari aspek sejarah Islam tersebut bisa dieksplorasi dan dieksploitasi, maka diperlukan pula metodologi yang tepat untuk menyelami sejarah tersebut secara kritis. Pendekatan yang ditawarkan Fazlurrahman untuk berinteraksi dengan Islam yang menyejarah itu adalah analisis historis (taarikhiyyah).

Pendekatan historis Rahman secara prinsipal dirumuskan oleh Birt terdiri dari tiga tahap yang saling bertautan. Pertama, pemahaman terhadap proses sejarah yang dengan itu Islam mengambil bentuknya. Kedua, analisis terhadap proses tersebut untuk membedakan pripsipprisipnya yang esensial dari formasiformasi umat Islam yang bersifat partikular sebagai hasil kebutuhan mereka yang bersifat khusus. Ketiga, pertimbangan terhadap cara yang terbaik untuk mengaplikasikan prinsipprinsip esensial tersebut.

Melalui pendekatan ala historisis ini pula, sainssains Islam sebagai aspek historis tidak lalu diabaikan atau dibuang. Bagaimanapun juga, menurut Rahman, Islam historis telah memberikan kontinuitas kepada dimensi intelektual dan spritual masyarakat. Melalui aspek historis, kajian yang menyeluruh dan sistematis terhadap perkembangan disiplindisiplin Islam harus dilakukan. Kajian tersebut dibarengi dengan rekonstruksi yang juga bersifat komprehensif meliputi disiplindisiplin keislaman yang ada. Sebab, suatu bentuk pengembangan pemikiran Islam yang tidak berakar dalam khazanah pemikiran Islam klasik atau lepas dari kemampuan menelusuri kesinambungannya dengan masa lalu adalah tidak otentik. Dari sini Nurcholis Madjid menilai Rahman sebagai tokoh yang selalu berpijak pada adagium: alMuhaafazhatu `ala alqadiim alshaalih walakhdzu biljadiid alashlah (Memelihara warisan lama yang masih baik, namun jika ada kreasi baru yang lebih baik, maka yang baru itulah yang dipakai). Atas dasar penghargaan Rahman terhadap tradisi yang begitu besar itu pula, Akbar S. Ahmed menganggapnya sebagai seorang tradisionalis. Meski demikian, menurut Ihsan Ali Fauzi dengan nada antusias, tardisonalisme atau lebih tepatnya konservatisme Rahman adalah jenis konservatisme yang cerah.
Beberapa Butir Pemikiran NeoLiberal
Pencarian metodologis Rahman, utamanya dalam bergumul dengan alQuran, menghasilkan disposisi pemikiran yang mengangkat world view qurani secara komprehensif. Semua itu dituangkannya dalam master piece yang berjudul; Major Themes of The Qur’an. Di dalamnya Rahman berbicara tentang Tuhan Yang Maha Esa dan Pengasih sebagai eksistensi yang fungsional, alQuran sebagai sumber nilai dan moral, dan kenabian sebagai bukti kongkrit kepengasihan Allah, serta manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab.[3] Ia juga berbicara tentang alam semesta untuk dijadikan petanda (keberadaan dan kebesaran) Allah dan harus disyukuri dengan pengolahan dan pelestarian, tentang setan sebagai ujian bagi manusia, serta akhirat sebagai terminal akhir perjalanan manusia dimana ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya di dunia.

Alqur’an berbicara tentang Tuhan yang tidak harus melulu berorientasi ke atas tapi juga ke bawah. Artinya, sebagaimana dikemukakan Rahman sendiri, yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan buktibukti teologis yang pelik dan panjang lebar mengenai eksistensi Tuhan. Tetapi, bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai faktafakta yang jelas dan mengubah faktafakta ini menjadi hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Dengan demikian, Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan dimensi lain; Dia memberi arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; tak berhingga dan yang selainNya selalu berhingga. Allah adalah cahaya yang menerangi sehingga setiap sesuatu menemukan kehidupan dan tingkah laku yang wajar.[4]

Eksistensi Tuhan Yang Maha Esa adalah benarbenar hadir bersama manusia, dan meliputi segala yang ada. Konsekuensi dari monoteisme yang semacam ini, menurut Rahman, alQuran menekankan keharusan iman sebagai sesuatu yang bersifat aksi (faith in action) yang harus berdampak nyata pada aktivitas dan perilaku manusia. Di dalam aktivitas dan perilaku manusia tersebut berpadu dua hal, yakni kekuasaan Allah untuk bertindak apa saja terhadap manusia di satu sisi dan kebebasan manusia untuk berbuat sesuai dengan kemampuan dan kehendaknya di sisi yang lain. Yang dituntut kemudian dari manusia adalah pertanggung jawaban moralnya, yang mana ukurannya adalah takwa.

Tentang manusia, Alquran mengabarkan adanya kelebihan manusia atas makhluk yang lain, yakni dalam hal kepemilikannya akan pengetahuan. Ketika Allah menciptakan manusia untuk dijadikan khalifah, para malaikat protes. Mereka khawatir akan terjadi pertumpahan darah di muka bumi seandainya manusia menjadi khalifah di sana. Para malaikat dan seluruh penduduk surga itu lalu dikumpulkan untuk mengeja nama bendabenda dan menjelaskan sifat dari masingmasing benda tersebut. Ternyata mereka tidak mampu. Yang bisa melakukannya hanyalah manusia (Adam). Melalui pengetahuannya itu manusia bukan hanya menjangkau halhal yang fisik, tapi juga yang metafisik. Keberadaan Allah, bahkan, dapat diketahui oleh manusia yang mau memikirkannya, dan manusia yang mau memikirkan petandapetanda yang diciptakanNya.

Namun demikian, akal rasional semata tidak akan mampu mengetahui maksud dari petanda tersebut, untuk itu dibutuhkan suatu disposisi mentalspritual tertentu, yakni kesanggupan untuk beriman. Pengetahuan yang diperlukan oleh manusia dalam rangka meniti jalan lurusNya itu, menurut alQuran, ada tiga macam: pertama, pengatahuan mengenai alam yang telah ditundukkan Allah untuk manusia, atau sainssains ilmiah. Kedua, pengetahuan sejarah (dan geografi): alQuran senantiasa mendesak manusia agar berjalan di muka bumi sehingga dapat menyaksikan apa yang menjadi sebabsebab kejayaan dan keruntuhan kebudayaankebudayaan di masa lampau. Ketiga, pengetahuan mengenai diri sendiri, karena Allah pernah berfirman: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tandatanda Kami di dalam cakrawala (alam eternal) dan di dalam diridiri mereka sendiri sehingga mereka dapat memahami kebenaran. Tidak cukupkah Tuhanmu sebagai saksi terhadap setiap sesuatu?

Kualitas tertinggi manusia yang berpengetahuan itu ditentukan oleh kadar takwanya. Takwa pada tingkatan tertinggi menunjukkan kepribadian manusia yang benarbenar utuh dan integral; semacam stabilitas yang terjadi setelah semua unsur yang positif diserap masuk ke dalam diri manusia. Di dalam takwa terdapat radar hati nurani yang melaluinya manusia bisa membedakan mana yang benar dan salah, yang lurus dan sesat, dan akan melindungi (menjaga) dirinya dari perbuatan yang buruk dan jahat. Atas pengetahuan akan adanya sisi baik dan buruk, benar dan salah, serta lurus dan sesat itu manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan yang dipilihnya. Dari sisi ini, manusia adalah makhluk yang merdeka. Namun demikian, di sisi yang lain manusia juga harus mempertanggungjawabkan setiap pilihan yang diambilnya kepada Allah di dunia dan akhirat nanti. Sebab kebebasan itu diberikan sebagai konsekuensi dari rahmat dan kepengasihan Allah kepada manusia. Dan Allah akan menilainya dengan alat ukur; takwa, baik untuk menilai manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Takwa bukan hanya kualitas mental yang bisa memacu kesalehan individu, namun juga kesalehan sosial. Bahkan Rahman mengatakan bahwa takwa hanya memiliki arti jika diletakkan dalam sebuah konteks sosial. Indikator takwa bisa diejawantahkan dalam konteks sosial itu adalah; apakah di dalamnya telah terselenggara keadilan sosial dan ekuilibrium ekonomi atau belum. Jika belum, berarti ketakwaan dan kesalehan yang ingin dipraktikkan itu masih sebatas jargon dan slogan, tidak mengejawantah. Keadilan sosial dan ekuilibrium ekonomi tidak bisa diabaikan dalam rangka membangun cita masyarakat qurani. Yakni masyarakat menurut alQuran dengan banyak menyebutkan keterlibatan dan pengawasan Allah dalam aktivitas kemanusiaan yang mengarah pada penegakkan sebuah tatanan yang etis dan egalitarian Itu. Namun demikian, tatanan masyarakat semacam ini sulit diwujudkan tanpa adanya semangat jihad yang menyalanyala di benak setiap masyarakat.

Jihad adalah perjuangan yang bersifat total dengan harta benda dan jiwa raga untuk mencapai ridla Allah. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah perjuangan manusia untuk menegakkan keadilan sosial dan ekuilibrium ekonomi itu bagi anggota masyarakat sebanyakbanyaknya. Selain alQuran berfokus pada Tuhan dan manusia, ia juga berbicara tentang Alam Semesta. Menurut Fazlur Rahman, alQuran menampilkan perbincangan tentang alam semesta yang memiliki dua dimensi fungsionalteologis. Dalam satu sisi, alam semesta dengan keluasan dan keteraturannya yang tidak terjangkau akal harus dipandang sebagai petanda Allah karena hanya Zat yang tak terhingga dan unik saja yang dapat menciptakannya. Pada sisi yang lain, alam semesta sebagai suatu tatanan yang dinamis dan berkembang harus ditanggapi secara serius oleh manusia (dalam rangka untuk kebaikan kehidupan mereka sendiri). Dengan kata lain, alam semesta selain merupakan bukti eksistensi Allah SWT, dia juga merupakan petanda dan rahmat Allah bagi manusia. Untuk yang pertama (pembuktian), manusia tidak cukup dengan hanya mengerahkan olah akalrasional, lebih dari itu ia juga harus mempunyai disposisi tertentu, yakni kesanggupan untuk beriman.

Untuk yang kedua (alam sebagai rahmat), manusia harus mengurus, mengolah dan melestarikan alam semsta dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi.

Sementara itu tentang dunia eskatologi, Fazlur Rahman mensinyalir bahwa dunia itu identik dengan surga dan neraka. Keduanya adalah suatu bentuk imbalan dan hukuman dari Allah kepada manusia atas semua perbuatannya di dunia. Surga dan neraka dalam pandangan Rahman bukanlah suatu entitas spritual sebagaimana yang didakwakan oleh sebagian rasionalis Islam, namun keduanya adalah entitas fisik. Akhirat, dimana surga dan neraka ada di dalamnya, adalah saat kebenaran yang akan menyibak tabir realitas moral yang obyektif dari kesibukan mental manusia. Oleh sebab itu manusia mempunyai konsekuensi untuk berbuat kebaikan sebanyakbanyaknya selama hidup di dunia. Hanya dengan itulah dia akan mendapatkan tiket kebahagiaan di kehidupan akhirat nanti. Suatu kehidupan, yang menurut alQuran, sangat penting karena alasan keadilan dan moral sebagai konstitusi relitas tindakan manusia.



F. Biografi Nurchalish Madjid.

Nurcholish Madjid, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).

Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971.

Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978-sekarang; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990.

Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung, Mizan, 1988)

Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).

G. Pemikiran Nurchalish Madjid.
Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru (baca: pembaruan) yang disebut “neo-modernisme”. Sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari. [5]

Hari ini, gerakan pemikiran model ini kian berkibar dan mendapat tempat dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air. Ciri khas yang dapat ditangkap dari aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam) dalam bentuknya yang substansial. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma holistik yang otentik dengan tetap berpijak pada akar tradisi. Ia tidak mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang ditimbulkannya.[6] Neo-modernisme di Indonesia yang ditularkan oleh Nurchalish kemudian juga dikenal dengan Islam Liberal.

Istilah “Islam liberal” sendiri muncul pertama kali di saat Indonesianis Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia[7]. Semenjak saat itu, istilah tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Apalagi, ketika Charles Kurzman meluncurkan karya Wacana Islam Liberal[8] dan digayung-sambuti dengan pendirian Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar-Abdalla dan kawan-kawan, wacana liberalisme Islam menjadi kian marak dan melahirkan kontroversi berkepanjangan. Dari waktu ke waktu, wacana ini bergulir dan membiak ke berbagai arah.

Gugusan pemikiran neo modernisme yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Menurut Azra, dalam perkembangannya, neo-modernisme Islam telah menjelma menjadi wacana yang tidak terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaruan, seperti Muhammadiyah saja. Tapi juga telah menyebar ke dalam kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan. Secara praktis, paham neo-modernisme sama sekali tidak menginginkan adanya segala bentuk formalisasi serta radikalisasi sikap keagamaan.

Sebaliknya, neo-modernisme cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yang viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi.

Berlatar panorama di atas, orang kemudian mulai menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang diusung oleh intelektual muslim terkemuka, Fazlur Rahman. Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlur dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Kebetulan, Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia (antara lain Syafi’i Ma’arif) sempat berhubungan dan berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagai “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di negeri ini.

Penyingkapan akan hal tersebut, menurut A’la, terasa penting disebabkan perlunya korelasi yang jelas antara konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya. Dalam pandangan A’la, terdapat -- setidaknya -- dua signifikansi yang bisa dipungut dari pengetahuan kita akan hal tersebut. Pertama, secara teoretis keilmuan, warisan pemikiran yang digagas Fazlur, kelak berhasil menjadi arus utama (mainstream) bagi gerakan pembaruan Islam berikut pembiakannya di Indonesia. Pada titik inilah, gagasan ideal Fazlur sepenuhnya tak dapat dipisahkan dengan wacana keagamaan yang hegemonik di nusantara. Betapa kita lihat, pelbagai gagasannya (antara lain yang sangat menonjol adalah ide penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara rekonstruktif dan “hidup”) telah menjadi topik penting dari beragam diskusi yang marak digelar di berbagai tempat. Kedua, pemikiran Fazlur pada akhirnya menawarkan alternatif baru serta perspektif lain bagi kesadaran teologi (sebagian) umat Islam di Indonesia. Konsep pendekatan holistik (yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”) yang disodorkannya, serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih fungsional, liberal, dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusiaan mutakhir. Penelusuran Abd. A’la dalam buku ini akhirnya bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa cita pembaruan yang ditularkan Fazlur Rahman bagi paradigma keislaman di Indonesia telah menampakkan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran pembaruan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik.

Oleh karenanya, ke depan, diskursus Islam liberal di Indonesia tetap layak untuk digulirkan dan dikaji secara lebih menarik. Di tengah kondisi kehidupan manusia dalam global village ini, Islam liberal bisa hadir sebagai “mazhab” perekat solidaritas sosial yang senantiasa mengupayakan keadilan beragama serta keberagamaan yang adil. Pada titik inilah, karya Abd. A’la ini berperan sebagai wahana kreasi ulang (re-creation) bagi kiprah dan perjalanan pembaruan Islam di tanah air. Kini dan di masa mendatang, ia diharapkan akan menjadi cermin cemerlang bagi lahirnya iklim keberagamaan yang damai dan lapang.
Sekularisme
Nurcholish menjelaskan bahwa sekularisasi di sini tidak sama dengan sekularisme yang menurut pemahamnya adalah sebuah ideologi tertutup yang anti-Tuhan. Menurut Nurcholish, sekularisasi itu berbeda dengan yang dituduhkan orang-orang padanya. Sekularisasi bukan merupakan faham yang statis, tetapi suatu proses yang terus berlangsung. Dengan perkataan lain, sekularisasi adalah sekularisme yang terbatas. Esensinya adalah devaluasi sektor kehidupan dan demitologisasi.

Karena itu, sekularisasi menurut Nurcholish adalah diferensiasi dan nasionalisasi sehingga menimbulkan liberalisasi. Konsep ini disetujui oleh Dr Benyamin F Intan, seorang pendeta teolog yang mempelajari public religion di Boston College, Amerika Serikat.

Menurut hasil kajiannya, sekularisasi bisa mengambil tiga bentuk: pertama, privatisasi agama; kedua, decline of religion (kemerosotan agama); dan ketiga, diferensiasi. Ia dan kalangan Kristen pada umumnya menolak dua bentuk yang pertama dan mengartikan sekularisasi sekadar sebagai diferensiasi antara akal dan iman, antara yang private dan public, serta antara agama dan negara.[9]

Tiga hal itu diperlukan sebagai syarat kebebasan sipil. Karena itu, jika kita ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan sipil sebagai landasan demokrasi, maka sekularisasi adalah suatu kebutuhan dan keharusan. Oleh sebab itu, masalah bagi generasi pasca-Nurcholish Madjid bukanlah sekularisme atau yang lain, melainkan memilih model sekularisasi yang cocok untuk masyarakat Indonesia dan sesuai dengan faham kebangsaan.

Dalam tulisan-tulisannya yang diterbitkan oleh majalah dan KKA (Klub Kajian Agama), Nurcholish terus berusaha melakukan reformulasi dan penyusunan faham keagamaan yang komprehensif, yang menyangkut empat bidang besar, yaitu keislaman, kemodernan, keindonesiaan, dan kerakyatan. Jadi, Nurcholish aktif dalam wacana publik yang sangat luas.

Ia tidak saja memakai pendekatan teologi yang memang merupakan ciri khasnya, tetapi juga sosiologi religi dan kebudayaan. Pada akhirnya, Nurcholish tidak sekadar menjadi tokoh pembaru pemikiran Islam, tetapi juga seorang guru bangsa. Hanya saja, pandangan-pandangannya itu tersebar dan tercecer dalam banyak logos. Hanya satu dua buku saja yang merupakan buku yang utuh.
Neo-Sufisme
Selain itu, salah satu pemikiran pembaharuan yang diusung oleh Nurchalish adalah sufisme yakni sisi-sisi lain pemikiran Nurcholish yang tampaknya seringdilupakan, bahkan diabaikan, banyak akademisi—yaitu bahasannya tentang sufisme atau tasawuf, salah satu aspek dari neo-tradisionalisme Islam.[10]

Nurcholish telah mengemukakan gagasannya tentang tasawuf sejak ia masih berstatus sebagai mahasiswa IAIN. Dengan demikian, Nurcholish saat itu tidak hanya menggeluti pembaharuan pemikiran Islam khususnya berkaitan dengan politik, tetapi juga mengemukakannya pemikirannya dalam bidang tasawuf. Nurcholish menganggap penting pengalaman sufistik sebagai bagian terpenting dari modernitas yang selalu berbarengan dengan peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. Pengalaman sufistik dapat dicapai melalui zikir (mengingat) Allah dalam kehidupan sehari-hari. Corak pemikiran dan pengalaman sufistik Nurcholish tampak dipengaruhi Ibnu Taimiyah, yang disebut Fazlur Rahman—gurubesar Nurcholish di Chicago, sebagai tokoh neo-sufisme, dan dipengaruhi pula oleh Buya Hamka sebagai pengamal tasawuf modern.

Nurcholish membuktikan bahwa antara kesalahen dan politik merupakan sesuatu yang tak dapat dipisahkan; pluralisme, demokrasi, dan masyarakat madani memiliki landasan agama dan politik sekaligis. Nurcholish tidak hanya dikategorikan sebagai pemikir neo-modernis, tetapi juga pemikir neo-tradisionalis sekaligus.
Daftar Pustaka dan Footnote
Daftar Pustaka
  • A’la, Abd., Dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2003.
  • Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina: 1999.
  • Fazlurrahman, Islam. New York: Doubleday & Company, 1968.
  • Hasan, Muhammad Kamal “Perkara Nurcholish Madjid”, dalam Sukandi A.K. (ed.), Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
  • Kurzman, Charles, Wacana Islam Liberal. Jakarta: Paramadina: 2001.
  • Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 199.
  • Rahman, Budhy Munawar. Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001.
  • W. Syifa Amin, Rekonstruksi Pemikiran Islam dan Neo Modernisme dalam www.al-islahonline.com didownload pada 10 April 2008.
FootNote
  • [1] Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 47
  • [2] Fazlurrahman, Islam (New York: Doubleday & Company, 1968), h. 78.
  • [3] Fazlurahman, Islam, h. 33.
  • [4] Syifa Amin W., Rekonstruksi Pemikiran Islam dan Neo Modernisme dalam www.al-islahonline.com didownload pada 10 April 2008.
  • [5] Dr. Abd. A’la, Dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 45.
  • [6] Lihat artikel Muhammad Kamal Hasan, “Perkara Nurcholish Madjid”, dalam Sukandi A.K. (ed.), Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari embaharu
  • sampai Guru Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
  • [7] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina: 1999), h. 17.
  • [8] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal (Jakarta: Paramadina: 2001).
  • [9] Lihat Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 91-113.
  • [10] Lihat Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Peng-alaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 91-113.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved